Wednesday, June 24, 2009

Pengendara moge yang baik budi

“Di depan anak dan istri, saya dipukul dan diludahi.” kata Darmawan Edwin Sudibyo.

Apa yang terpikir sewaktu melihat rombongan pengendara Harley Davidson lewat? Tergantung lewat dimana dulu. Kalau lewat di jalan tol, ya mungkin biasa saja. Tapi kalau kebetulan lewat di jalan depan rumah, bagaimana? Atau paling tidak di jalan umum yang banyak dilalui pejalan kaki? Biasanya, secara otomatis orang-orang yang kebetulan berada di pinggir jalan akan menghentikan aktifitasnya. Kemudian menoleh ke arah darimana suara gahar itu muncul. Dan tak jarang orang malah jadi berkerumun untuk menonton. Apalagi kalau konvoinya agak panjang karena banyak pengendara yang ikut ambil bagian dalam konvoi itu.

Kira-kira kenapa orang-orang rela berkerumun, atau paling tidak memandang selama setengah menit ke konvoi motor gede seperti itu ya?

Kemungkinan pertama yang terlintas di pikiranku adalah karena suaranya yang khas itu. Keras tapi tidak sember dan mampu membuat lantai bergetar. Dari suaranya saja biasanya orang sudah mengetahui kalau itu adalah motor gede. Yang kedua, mungkin karena motor ini adalah produk mewah. Tidak banyak semua orang bisa memilikinya. Harga satu moge saja bisa membeli dua atau tiga mobil bekas sekaligus. Ya pasti orang-orang ingin melihat langsung si motor mewah ini dari dekat.

Dan kalau sudah begini, sedikit banyak pasti hidung si pengendara moge ini akan kembang-kempis karena bangga. Mungkin tidak kelihatan kalau dia memakai helm. Tapi rasa bangga karena bisa memiliki motor mewah pasti tetap terbersit, walaupun intensitasnya pada masing-masing orang itu berbeda. Memangnya apa lagi tujuan orang ingin memiliki motor yang harganya dua kali lipat mobil itu, kalau bukan karena hobbi dan kebanggaan pribadi? Omong kosong kalau ada orang yang bilang dia beli motor Harley Davidson untuk kendaraan sehari-hati ke kantor atau untuk dipakai liburan bersama keluarga. Pasti untuk dipakai sendiri saja kan?

Barangkali, rasa bangga yang cenderung narsis ini juga lah yang membuat orang-orang seperti Darmawan Edwin Sudibyo jadi kehilangan harga diri. Ia seorang pengemudi mobil berusia 51 tahun (sudah setengah baya) yang kebetulan sedang membawa istrinya yang sedang hamil 5 bulan bersama tiga orang anak dan ayah mertuanya di dalam mobilnya. Tapi malangnya, mereka terjebak kemacetan di kawasan Puncak.

Di depan istri, anak dan ayah mertuanya, ia lalu dipukul dan diludahi oleh salah seorang anggota konvoi mobil gede yang juga melintas di jalan yang sama. Alasannya cukup aneh, karena Darmawan dianggap menghalangi laju konvoi moge yang bergerak menuju Jakarta itu. Lho? Memangnya para pengendara moge itu siapa? Kok bisa-bisanya memukul orang lain dengan seenak hatinya, hanya karena dianggap menghalangi jalannya? Ambulance saja yang punya akses penuh di jalan raya tidak pernah menyalahgunakan kemudahan yang dimilikinya sampai memukul pengguna jalan yang lain kok.


Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Abubakar Nataprawira pun sampai merasa perlu mengimbau agar para pengendara motor gede itu tidak seenaknya menutup jalan atau mengganggu pengguna jalan lain.
”Dibutuhkan kesadaran bahwa jalan itu bukan milik mereka.” kata Abubakar di Mabes Polri Jakarta.

Nah loh, polisi saja tidak pernah memberikan dispensasi atau kemudahan khusus bagi para pengendara moge dalam berlalu lintas. Posisi mereka sama dengan pengguna jalan yang lain. Sama-sama harus saling menghormati.

Memang bisa dipastikan, kalau tidak semua pengendara moge bersikap angkuh dan kasar seperti pelaku pemukulan itu. Tapi jangan karena perbuatan segelintir orang, image sebagai pengendara moge berubah menjadi bukan lagi jadi hal membanggakan. Jangan sampai nantinya kalau konvoi mereka lewat lagi, masyarakat bukan berkerumun untuk memandang dengan kagum. Tapi berkerumun untuk melempar batu dan memasang perangkap untuk mencelakakan mereka. Iya kan?

Memiliki motor gede, memang sebuah kebanggaan. Karena pemiliknya pasti dinilai dari kemampuan finansialnya untuk itu. Tapi, jangan karena kebanggaan lantas dengan seenaknya menghakimi pengguna jalan yang lain. Jalan raya itu milik bersama. Jadi, sesama pemilik jalan harus saling menghormati.
Jadilah pengendara moge yang baik budi.

1 comment:

  1. risma,

    Ini yg namanya hukum alam, mahluk jika sudah berada dalam kelompoknya akan merasa kuat dan bisa menekan spesies lainnya. Seperti kelompok hyena atau serigala liar di film2nya National geographic :)

    Apa bedanya geng moge dengan anak sekolah yg tawuran, kelompok muda-mudi yang berisik ngobrol di restoran tanpa peduli sekitar, massa yg nggebuki maling yg tertangkap basah...banyak ya contoh lainnya.

    Tapi krn kita ini manusia harusnya punya hati dan bisa mengatur emosi...jadi penindasan terhadap 'spesies' = kaum lain yg posisinya lebih lemah (pada waktu itu) tidak sering terjadi. Harusnya lhooo....teori lhooo....

    ohya Ris, mau nanggapi juga ttg hubungan antara go green dan go vegan, agak panjang...boleh ya? Ceritanya begini, dikatakan bahwa setiap kegiatan manusia modern itu semua mengeluarkan zat pemicu efek rumah kaca spt CFC (AC mobil, rumah, kantor), CO2 (polusi mobil, motor), dan Methane (dari pembakaran makanan terutama jenis daging2an). Semakin byk org makan daging, semakin byk ampas ehnm...mahap ya terpaksa sebut kata ini....yg mengandung methane dihasilkan.

    Solusi? Banyak-banyak makan sayur...kurangi makan daging :D hehehehe

    ReplyDelete

Visit my other blogs:
Mommy Mayonnaise
Mirror On The Wall
Cerita Film

Spamming and insulting comments are not allowed and will be deleted for sure. Thanks for sharing your opinions.

Shelfari: Book reviews on your book blog
Blog Widget by LinkWithin
 

~Serendipity~ | Simply Fabulous Blogger Templates | Mommy Mayonnaise | Female Stuff