Thursday, May 20, 2010

Paramedis Yang Melanggar Sumpah

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya;
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya;

Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan;
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter;
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran;
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan;

Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbang an keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial;

Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.” 
Itulah kutipan Sumpah Dokter Indonesia yang aku baca di Wikipedia.
Sumpah Dokter Indonesia adalah sumpah yang dibacakan oleh seseorang yang akan menjalani profesi dokter Indonesia secara resmi. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan atas Deklarasi Jenewa (1948) yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates.
Mulia sekali bukan? Profesi paramedis sungguh merupakan profesi yang mulia. Lalu, kenapa aku memberi warna merah dan penebalan pada salah satu poin di atas? Karena ternyata sekali, sudah ada beberapa klinik bahkan rumah sakit disini yang jelas-jelas melanggar sumpah mereka.

Disini, ada rumah sakit yang hanya menerima pasien dengan agama tertentu. Dengan tanpa rasa malu mereka akan menanyakan agama pasien, bahkan ketika pasien itu sendiri sedang menjalani pengobatan. Apa hubungannya orang sakit dengan agama coba? Sementara di satu tempat lagi, ada klinik yang hanya menerima pasien dengan latar belakang politik kepartaian yang sama. Jadi, seberapa parahpun kondisi orang yang datang berobat disana, kalau bukan kader/simpatisan pasti akan ditolak. Dan sekali lagi, dengan tanpa rasa malu, mereka menempelkan kertas di pintu klinik, yang menegaskan bahwa hanya kader dan simpatisan saja yang bisa berobat disana. Apa yang terjadi dengan profesi paramedis kita sekarang ini?

Apakah penyakit demam berdarah memilih-milih korbannya berdasarkan agama? Apakah korban kecelakaan harus meregang nyawa karena ditolak dari rumah sakit terdekat dengan alasan agama, sehingga ia harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi untuk mencari rumah sakit yang lebih umum? Apakah ibu-ibu yang hendak bersalin juga jadi tidak mendapat pertolongan hanya karena agamanya berbeda? Tidak! Semua orang dengan latar belakang agama dan partai politik apapun bisa terkena hal itu dan layak mendapatkan pengobatan. Lalu, kenapa paramedis tega memilih-milih mana yang mau ditolong dan mana yang dengan tega ditinggalkan??

Tak perlu lah menyandang status dokter/perawat/bidan/mantra/apapun nama profesinya, kalau hanya menerima pasien dari kalangan tertentu! Paramedis tak seharusnya tersangkut dalam pusaran arus politik dan SARA. Paramedis harusnya terbebas dari sentimen pribadi. Itulah makanya kehadiran paramedis akan diterima diantara kedua pihak yang sedang berseteru. Paramedis tidak diganggu ketika berada di medan perang, meskipun dia mengobati korban perang dari kedua belah pihak yang bertikai. Itulah hakikat tugas paramedis. Menyembuhkan tanpa pandang bulu. Seluruh dunia mengakui hal itu.
Tapi ternyata, ada kekeliruan yang parah sedang terjadi di negara ini. Ada pelanggaran sumpah yang memalukan. Kalau ternyata paramedis sudah memilih-milih siapa yang mau dirawat dan siapa yang patut ditolak, buang saja semua atribut medismu! Jangan mengotori keagungan gelar penyembuh itu dengan sikap SARA dan sentimen politikmu! Karena memang bagi sebagian orang, kau sudah bukanlah paramedis!

Saturday, May 15, 2010

Upin-Ipin versi Indonesia

Banyak orang sekarang “mengelu-elukanUpin dan Ipin sebagai tontonan bermanfaat untuk anak-anak. Ada benarnya juga. Aku baru beberapa kali menonton acara ini, tapi aku bisa melihat kalau banyak nilai-nilai baik yang ditanamkan di dalamnya. Meskipun sebenarnya aku lebih tertarik mendengar logat dialog melayu para pemainnya daripada mendengarkan inti pembicaraannya. Hehehe..
Tapi berhubung aku jarang sekali buka channel lokal (karena pakai tv kabel) anakku malah lebih suka dengan Teletubbies, In The Night Garden, Fimbles dan beberapa program lainnya di CBeebies. Dia tidak mengenal Upin-Ipin, tapi dia sudah bisa menirukan lagu-lagu yang menjadi soundtrack dari acara-acara di CBeebies itu, meskipun berbahasa Inggris.

Lalu ada teman yang nyeletuk: “Anakmu kok tahunya acara luar negeri, Ris? Biasakanlah dengan produk lokal, kayak Upin dan Ipin gitu.

Helloooo…. Upin-Ipin itu bukan produk lokal, teman. Itu buatan negara tetangga, Malaysia.
CBeebies dan Upin-Ipin sama-sama produk luar negeri yang terpaksa harus dinikmati anak-anak kita, karena kurangnya acara anak-anak produk lokal yang bermutu di televisi.

Tanpa bermaksud mendiskreditkan program acara (atau stasiun tv) manapun, aku memang tidak terlalu antusias untuk menonton program anak di stasiun tv lokal bersama anakku. Untuk apa menonton acara dimana anak-anak diajari tentang “tipuan sihir” yang terlihat tolol, sementara di channel sebelah ada cerita yang lebih bermutu yang mengajarkan lagu-lagu riang gembira sambil bergerak lincah?

Ketika acara anak-anak di Indonesia masih bercerita tentang tarzan-tarzan-an yang hobinya mengerjai orang dewasa (yang anehnya terlihat bodoh semua), Upin-Ipin sudah bercerita tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan lebih baik dan sopan, baik itu orang dewasa ataupun sesama anak-anak. Ketika acara anak-anak di Indonesia menampilkan tentang hebatnya “gol jadi-jadian nan luar biasa aneh” dari seorang anak yang meniru pemain bola asing, CBeebies sedang mengajarkan tentang berbagai jenis hewan dan makanannya sambil bernyanyi dan menari dengan riang. Kreatif!
Jadi, jangan salahkan kalau anak-anak Indonesia tidak cinta produk dalam negeri. Karena program anak-anak kita sudah “diracuni” materi sinetron yang cenderung mengada-ngada (alias jauh dari nyata) dan minim unsur belajarnya. Bandingkan dengan Upin-Ipin dan program dari luar lainnya. Bagaikan bumi dan langit! Kalaupun tidak bisa secanggih Fimbles, buatlah jadi semenarik Upin-Ipin.
Kondisi ini harus segera diperbaiki, menurutku. Masalahnya, adakah pihak yang berminat memperbaikinya?

Thursday, May 6, 2010

City of Bones-Cassandra Clare

Sebenarnya, yang pertama sekali membuatku tertarik untuk membeli buku ini adalah kutipan pernyataan Stephenie Meyer (pengarang Twilight Saga dan The Host) tepat di sampul depannya. Aku menyukai karya-karya Stephenie dan memiliki semua bukunya. Jadi, kupikir buku City of Bones ini, sedikit banyak, akan menyerupai reputasi tulisan Stephenie. Dan ternyata aku tidak salah. Buku ini masuk dalam kategori favoritku.
Aku penggemar berat buku-buku berthema fantasi seperti ini. Dan Cassandra Clare berhasil membuatku penasaran dan tidak sabar untuk melanjutkan ke buku kedua. Pemeran utama dalam buku ini adalah Clarissa Fray, seorang gadis remaja yang sudah tidak memiliki ayah lagi.

Kehidupannya berjalan seperti remaja lainnya, sampai ketika dia bertemu Jace cs di sebuah klub. Itulah saat pertama kalinya dia mengetahui keberadaan iblis dan berbagai bentuk penjelmaannya. Bahwa ternyata Jace dan teman-temannya adalah mahluk berdarah campuran (manusia dan malaikat), yang disebut Nephilim, yang secara turun temurun telah menjaga perdamaian di bumi.

Dari mereka lah Clarissa mengetahui tentang keberadaan drakula, manusia serigala, penyihir, peri, dan mahluk-mahluk “dongeng” lainnya, sebagai penghuni Dunia Bawah. Para Nephilim tinggal di bumi dan menjaganya dari serbuan mahluk dunia bawah itu. Ada perjanjian yang telah kedua pihak sepakati untuk dilaksanakan, agar masing-masing bisa hidup berdampingan tanpa harus saling mencelakakan. Dan para Nephilim bertugas untuk memastikan tidak ada penghuni Dunia Bawah yang membuat kekacauan di tempat para Fana (sebutan untuk manusia biasa).

Pada awalnya, Clarissa tidak mau percaya dengan semua itu, sampai ketika dia menyadari bahwa ibunya diculik oleh Valentine. Ia adalah orang yang menolak adanya perjanjian damai dengan penghuni Dunia Bawah. Valentine adalah seorang Nephilim yang memberontak dan sedang menggalang kekuatan untuk mengumpulkan kekuatan. Ia berencana untuk menyerang dan menghancurkan Dunia Bawah untuk selamanya.

Para Nephilim tidak setuju, karena menurut mereka kaum Dunia Bawah masih akan berguna kalau diajak bekerjasama memerangi Iblis. Sehingga mereka berusaha menghentikan Valentine. Di buku pertama ini, yang menjadi topik perebutan adalah: Piala Mortal. Piala ini bisa mengubah manusia biasa menjadi Nephilim dalam seketika. Valentine ingin menggunakannya untuk kepentingannya. Meskipun dalam prosesnya, manusia itu bisa saja terbunuh.

Clarissa akhirnya bekerja sama dengan Jace cs, untuk menemukan Valentine. Meskipun tujuan mereka berbeda. Clarissa ingin menemukan ibunya kembali, Jace cs ingin mencari Piala Mortal.

Selain penggambaran yang unik akan “mahluk-mahluk dongeng” diatas, buku ini juga diselingi romansa khas remaja, yang ringan dan tidak berlebihan, Itulah yang embuat buku ini tidak terlalu “diberati” dengan hal-hal fantasi belaka. Khususnya, ketika akhirnya Clarissa dan Jace jatuh cinta. Tapi ada kejutan yang akhirnya membuat hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi. Buku yang bagus. Aku tidak sabar ingin melihat buku keduanya. Kawan-kawan sudah baca belum?
b
Shelfari: Book reviews on your book blog
Blog Widget by LinkWithin
 

~Serendipity~ | Simply Fabulous Blogger Templates | Mommy Mayonnaise | Female Stuff