Tuesday, October 15, 2013

Gundaling, Tanah Karo nan semrawut

Sebagai penghuni perkotaan yang sumpek dan penuh polusi, nggak banyak pilihan yang tersedia sebagai tempat refreshing keluarga yang termasuk kategori family friendly. Paling banter cuma bisa masuk mall A, atau toko buku B atau kolam renang C. Yang lama-lama cukup bikin bosan. Kita juga butuh tanah terbuka hijau yang luas, tanpa ada bangunan-bangunan tinggi yang mengganggu pemandangan. Untuk pilihan yang ini hanya ada satu solusi: ke luar kota.

Keluargaku tinggal di kota Medan. Ada beberapa alternatif pilihan yang menarik untuk wisata alam yang jaraknya hanya beberapa jam dari kota. Pilihan yang tak pernah basi pastilah ke Tanah Karo. Seperti Brastagi dan Kabanjahe. Tapi lebih enak di Brastagi sebenarnya. Karena lebih seperti kota wisata.

Kalau ke Brastagi, biasanya kita nggak pernag melewatkan Gundaling. Gundaling ini merupakan spot yang lebih tinggi, dimana kita bisa melihat kota Brastagi di bawahnya. Disini biasanya tempat wisatawan yang ingin merasakan naik kuda ataupun naik sado. Dengan beberapa puluh ribu rupiah, kita sudah diajak naik kuda mengelilingi Gundaling. Tempat ini tak pernah sepi pengunjung.

Kunjungan kami yang terbaru kesana adalah hari ini. Setelah beberapa bulan tidak ke Brastagi. Dan ada yang mengecewakan. Memang seperti biasa wisatawan yang datang akan dikenakan biaya retribusi di pintu masuk. Kami membayar 10 ribu untuk satu mobil berisi 4 orang. Biasanya, hanya itulah pungutan yang diberlakukan, tidak ada lagi pungutan apapun lagi di dalam.

Tapi begitu di dalam, mobil dihentikan oleh seorang pria yang memakai baju warna coklat khas PNS  yang memegang  segepok kertas seperti kwitansi. Kami diminta membayar 5000 lagi untuk retribusi parkir, yang sebenarnya cukup aneh. Dan kami tidak mendapat kwitansi untuk retribusi ini. Bagaimana kalo kami hanya ingin berkeliling saja dan tidak berniat untuk berhenti dan parkir. Masa iya harus bayar parkir juga? Dan memang kami hanya berkeliling saja, tidak berhenti untuk parkir.

Begitu selesai berkeliling dan melewati pintu masuk tadi yang juga berfungsi sebagai pintu keluar, mobil dihentikan lagi. Kali ini muncul pria berpakaian biasa yang juga memegang segepok kertas seperti kwitansi. Ternyata dia juga meminta retribusi lagi sebesar 5000 rupiah. Yah kita pasti heran, kan barusan tadi sudah bayar. Dan kita keliling juga cuma sekitar 10 menitan aja, karena Wilayah Gundaling ini juga kecil kok. Dia bilang yang tadi itu cuma untuk retribusi masuk aja, yang ini untuk parkir. Aje gileee luuu...

Masak retribusi dikutip 2x hanya untuk keliling jalan biasa yang berlubang-lubang seperti itu?? 

Yang jelas kami menolak membayar. Jangan-jangan orang lokal sini menganggap semua wisatawan itu pohon uang yang nggak punya otak ya? Kok kesannya seperti penipuan begitu. Tidak bisa dipastikan kalau kutipan ini resmi. Karena jelas-jelas mobil yang di depan kami juga menolak membayar. Dan si pengutip nggak bisa ngomong apa-apa untuk melawan argumentasi kami.

Sangat disayangkan kalau pengelolaan daerah wisata Gundaling ini jadi semrawut dan penuh pungutan liar seperti ini. Kalau tidak ada perubahan juga, pasti wisatawan yang berkunjung akan semakin sedikit. Karena pemda tidak bisa memberikan rasa aman bagi pendatang. Karena bukan besarnya jumlah rupiah yang menjadi masalah, tapi  retribusi itu resmi atau pungutan liar suka-suka dari warga setempat. Semakin  banyak pungutan liarnya, semakin jeleklah kredibilitas tempat wisata itu di mata pengunjung. Sungguh disayangkan..
Shelfari: Book reviews on your book blog
Blog Widget by LinkWithin
 

~Serendipity~ | Simply Fabulous Blogger Templates | Mommy Mayonnaise | Female Stuff