Ternyata, seorang aparat hukum seperti jaksa sekalipun, tidak bisa lepas dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Seperti yang dialami oleh Nazwita Indra, yang merupakan seorang ibu yang juga berprofesi sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, dan Dimas Agung, anaknya yang masih bersekolah di SMU
Dalam wawancara khusus dengan Metro TV, Nazwita menyatakan bahwa penganiayaan yang dialaminya bermula sejak tahun 2006. Ketika ia mengetahui perselingkuhan yang dilakukan suaminya, berinisial PR (seorang jaksa senior) dengan seorang calon PNS berinisial AH. Sejak perselingkuhan itu terungkap, Nazwita mengaku sering dipukuli, ditendang dan diinjak. Apalagi kalau ia berani mempertanyakan kebenaran perselingkuhan itu kepada suaminya.
Dimas mengaku kalau ia sudah sering melihat ibunya dipukuli, tapi selama ini ia tidak berani ikut campur masalah orangtuanya. Kejadian terakhir membuatnya tidak bisa tinggal diam lagi. Ketika Dimas melihat ayahnya mencekik ibunya. Dia kemudian berusaha melerai. Tapi akibatnya ayahnya menjadi sangat marah padanya. Kerah bajunya ditarik dan mulutnya dipukul dua kali hingga berdarah. Tak hanya itu, PR juga membanting tubuh Dimas ke lantai dan menimpakan sebuah alat olahraga ke tubuhnya. Setelah itu, kembali ia melanjutkan mencekik istrinya
Tidak mau menyerah, Dimas kembali bangkit dan berusaha mencegah ayahnya mencekik ibunya. Dan kembalilah PR memukul Dimas. Karena tidak tahan melihat anaknya yang sudah berlumuran darah, Nazwita mengajak Dimas pergi untuk berobat ke rumah sakit. Awalnya PR tidak mengizinkan mereka keluar dari rumah, karena menduga mereka akan melapor ke polisi. Tapi karena Nazwita mengatakan tidak jadi ke rumah sakit, hanya ke puskemas saja, dia lalu mengizinkan mereka pergi. Dia tidak berniat ikut untuk mengantar anaknya. Nazwita mengatakan kalau PR malah menyalakan televisi dan menonton TV
Selama wawancara Nazwita dan Dimas tampak begitu tegar. Dimas malah terlihat memendam emosi dan berapi-api ketika menjelaskan tentang latar belakang dan kelanjutan dari kasusnya. Sementara ibu Nazwita, meskipun sesekali terlihat emosi, dia lebih terlihat seperti memohon. Agar pihak-pihak yang berkompeten dengan kasusnya benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.
”Saya ini hanya orang kecil. Saya tidak punya relasi seperti yang dimiliki suami saya. Tapi saya mohon, bapak-bapak tetap membantu saya untuk mendapatkan keadilan.” katanya hampir menangis.
Kasus Nazwita dan Dimas ini adalah kasus KDRT terbaru. Sebenarnya mereka telah berkutat dengan kasus ini sejak tahun 2008. Tapi Nazwita merasakan kalau keadilan tidak berjalan dengan semestinya baginya dan anaknya. Karena laporan mereka tidak mendapat tanggapan sesuai dengan yang mereka inginkan. Sehingga kasusnya akhirnya mengambang, tidak selesai dan juga tidak ditindaklanjuti
Mungkin, dengan mengadakan talkshow di TV, ia ingin masyarakat Indonesia juga memperhatikan kasusnya ini. Mungkin, dia melihat bagaimana cepatnya hukum menjaring suami Cici Faramida, hanya dalam hitungan hari setelah media meliputnya besar-besaran. Atau besarnya dukungan rakyat terhadap Manohara yang katanya juga mengalami kasus KDRT dengan suaminya, setelah media tanpa henti menayangkan beritanya. Sampai akhirnya dia bisa dipulangkan dengan dramatis ke Indonesia hanya dalam waktu dua bulan.
Dari kedua kasus ini, memang sedikit banyak terlihat. Bagaimana besarnya pengaruh media dalam menginterupsi sebuah kasus. Seperti halnya dengan kasus Prita. Media bisa bisa membantu tapi media juga bisa menjadi bumerang. Sebaiknya ibu Nazwita dan Dimas tahu kapan harus mulai dan kapan harus berhenti bergaul rapat dengan media.
Tapi yang pasti, semua pelaku KDRT haruslah mendapat perlakuan hukum yang sama! Apalagi kalau yang menjadi pelaku KDRT itu adalah aparat hukum itu sendiri. Jangan mentang-mentang punya jabatan tinggi, merasa punya relasi, hukum jadi bisa dikebiri. Hukum tidak mengenal relasi dan jabatan. Makanya patung hukum digambarkan membawa timbangan dan matanya ditutup. Agar ia bisa menimbang masalah dengan objektif dan adil.
Maju terus, ibu Nazwita dan Dimas!!
Dalam wawancara khusus dengan Metro TV, Nazwita menyatakan bahwa penganiayaan yang dialaminya bermula sejak tahun 2006. Ketika ia mengetahui perselingkuhan yang dilakukan suaminya, berinisial PR (seorang jaksa senior) dengan seorang calon PNS berinisial AH. Sejak perselingkuhan itu terungkap, Nazwita mengaku sering dipukuli, ditendang dan diinjak. Apalagi kalau ia berani mempertanyakan kebenaran perselingkuhan itu kepada suaminya.
Dimas mengaku kalau ia sudah sering melihat ibunya dipukuli, tapi selama ini ia tidak berani ikut campur masalah orangtuanya. Kejadian terakhir membuatnya tidak bisa tinggal diam lagi. Ketika Dimas melihat ayahnya mencekik ibunya. Dia kemudian berusaha melerai. Tapi akibatnya ayahnya menjadi sangat marah padanya. Kerah bajunya ditarik dan mulutnya dipukul dua kali hingga berdarah. Tak hanya itu, PR juga membanting tubuh Dimas ke lantai dan menimpakan sebuah alat olahraga ke tubuhnya. Setelah itu, kembali ia melanjutkan mencekik istrinya
Tidak mau menyerah, Dimas kembali bangkit dan berusaha mencegah ayahnya mencekik ibunya. Dan kembalilah PR memukul Dimas. Karena tidak tahan melihat anaknya yang sudah berlumuran darah, Nazwita mengajak Dimas pergi untuk berobat ke rumah sakit. Awalnya PR tidak mengizinkan mereka keluar dari rumah, karena menduga mereka akan melapor ke polisi. Tapi karena Nazwita mengatakan tidak jadi ke rumah sakit, hanya ke puskemas saja, dia lalu mengizinkan mereka pergi. Dia tidak berniat ikut untuk mengantar anaknya. Nazwita mengatakan kalau PR malah menyalakan televisi dan menonton TV
Selama wawancara Nazwita dan Dimas tampak begitu tegar. Dimas malah terlihat memendam emosi dan berapi-api ketika menjelaskan tentang latar belakang dan kelanjutan dari kasusnya. Sementara ibu Nazwita, meskipun sesekali terlihat emosi, dia lebih terlihat seperti memohon. Agar pihak-pihak yang berkompeten dengan kasusnya benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.
”Saya ini hanya orang kecil. Saya tidak punya relasi seperti yang dimiliki suami saya. Tapi saya mohon, bapak-bapak tetap membantu saya untuk mendapatkan keadilan.” katanya hampir menangis.
Kasus Nazwita dan Dimas ini adalah kasus KDRT terbaru. Sebenarnya mereka telah berkutat dengan kasus ini sejak tahun 2008. Tapi Nazwita merasakan kalau keadilan tidak berjalan dengan semestinya baginya dan anaknya. Karena laporan mereka tidak mendapat tanggapan sesuai dengan yang mereka inginkan. Sehingga kasusnya akhirnya mengambang, tidak selesai dan juga tidak ditindaklanjuti
Mungkin, dengan mengadakan talkshow di TV, ia ingin masyarakat Indonesia juga memperhatikan kasusnya ini. Mungkin, dia melihat bagaimana cepatnya hukum menjaring suami Cici Faramida, hanya dalam hitungan hari setelah media meliputnya besar-besaran. Atau besarnya dukungan rakyat terhadap Manohara yang katanya juga mengalami kasus KDRT dengan suaminya, setelah media tanpa henti menayangkan beritanya. Sampai akhirnya dia bisa dipulangkan dengan dramatis ke Indonesia hanya dalam waktu dua bulan.
Dari kedua kasus ini, memang sedikit banyak terlihat. Bagaimana besarnya pengaruh media dalam menginterupsi sebuah kasus. Seperti halnya dengan kasus Prita. Media bisa bisa membantu tapi media juga bisa menjadi bumerang. Sebaiknya ibu Nazwita dan Dimas tahu kapan harus mulai dan kapan harus berhenti bergaul rapat dengan media.
Tapi yang pasti, semua pelaku KDRT haruslah mendapat perlakuan hukum yang sama! Apalagi kalau yang menjadi pelaku KDRT itu adalah aparat hukum itu sendiri. Jangan mentang-mentang punya jabatan tinggi, merasa punya relasi, hukum jadi bisa dikebiri. Hukum tidak mengenal relasi dan jabatan. Makanya patung hukum digambarkan membawa timbangan dan matanya ditutup. Agar ia bisa menimbang masalah dengan objektif dan adil.
Maju terus, ibu Nazwita dan Dimas!!
No comments:
Post a Comment
Visit my other blogs:
Mommy Mayonnaise
Mirror On The Wall
Cerita Film
Spamming and insulting comments are not allowed and will be deleted for sure. Thanks for sharing your opinions.