Kembali ke cerita kopi tubruk. Sebelumnya aku memang sudah pernah menulis tentang tempat ngopi yang asyik, yaitu Killiney. Yang mau kuceritakan kali ini juga tentang tempat ngopi. Tapi ada bedanya. Karena tempat ngopi yang satu ini adalah kedai kopi tanpa nama. Tapi orang cukup mengenal tempat ini dengan istilah Kopitiam Jalan Hindu. Tempatnya sangat sederhana. Hanya berupa bangunan tua (kayaknya sudah ada sejak zaman Belanda) dengan perabotan sederhana. Hanya berupa meja kayu yang biasa terdapat di kedai kopi warga Tionghoa. Bahkan beberapa kursi kayunya ada yang sudah reyot-reyot termakan usia. Jadi, kalau mau pilih kursi, harus hati-hati.
Ruangannya kecil tapi sesak karena meja kayu bulat yang berukuran lumayan besar ditata seadanya disana-sini. Tidak ada pengaturan keren ala design interior seperti kedai kopi mahal yang buka di mal-mal. Meja dan kursi diletakkan seadanya saja, yang penting bisa memuat orang dalam jumlah besar. Tidak ada pendingin ruangan dan memang tidak diperlukan. Karena letaknya berada di persimpangan jalan, dan memiliki jendela-jendela besar yang terbuka. Maka angin bisa keluar masuk dengan mudah. Untuk berjaga-jaga, si koko pemilik kedai menyiapkan sebuah kipas angin besar. Tapi sepertinya jarang dipergunakan.
Jangan harapkan lantai licin mengkilap seperti di Killiney atau Starbucks. Karena lantainya hanya disemen biasa. Dan banyak berpasir karena sering dilalui orang. Bar nya pun hanya berupa meja biasa tanpa hiasan apapun, apalagi sebuah mesin kopi. Sekilas meja bar itu malah terlihat kumuh.Cat dindingnya juga sudah suram, entah sudah berapa puluh tahun tak diperbaharui. Dindingnya dipenuhi dengan gambar ataupun kalender dengan tulisan-tulisan cina. Pemiliknya juga memajang artikel dari koran Kompas yang memuat berita tentang kedai kopi ini. Hebat..Dan di lantai ada sebuah tempat sesajen yang selalu terisi. Hanya itu saja dekorasinya.
Ruangannya kecil tapi sesak karena meja kayu bulat yang berukuran lumayan besar ditata seadanya disana-sini. Tidak ada pengaturan keren ala design interior seperti kedai kopi mahal yang buka di mal-mal. Meja dan kursi diletakkan seadanya saja, yang penting bisa memuat orang dalam jumlah besar. Tidak ada pendingin ruangan dan memang tidak diperlukan. Karena letaknya berada di persimpangan jalan, dan memiliki jendela-jendela besar yang terbuka. Maka angin bisa keluar masuk dengan mudah. Untuk berjaga-jaga, si koko pemilik kedai menyiapkan sebuah kipas angin besar. Tapi sepertinya jarang dipergunakan.
Jangan harapkan lantai licin mengkilap seperti di Killiney atau Starbucks. Karena lantainya hanya disemen biasa. Dan banyak berpasir karena sering dilalui orang. Bar nya pun hanya berupa meja biasa tanpa hiasan apapun, apalagi sebuah mesin kopi. Sekilas meja bar itu malah terlihat kumuh.Cat dindingnya juga sudah suram, entah sudah berapa puluh tahun tak diperbaharui. Dindingnya dipenuhi dengan gambar ataupun kalender dengan tulisan-tulisan cina. Pemiliknya juga memajang artikel dari koran Kompas yang memuat berita tentang kedai kopi ini. Hebat..Dan di lantai ada sebuah tempat sesajen yang selalu terisi. Hanya itu saja dekorasinya.
Tapi jangan ragukan soal rasa kopinya. Mantap! Dan yang ini kayaknya memang sudah menjadi resep turun temurun. Karena dulu yang mengelola kedai kopi ini adalah si apek. Tapi karena dia sudah tua, sekarang digantikan sama anak perempuannya. Katanya sih rasanya masih belum berubah. Selain kopi, mereka juga menyediakan roti bakar dengan berbagai varian olesan. Kalau kesukaan kami, selalu yang memakai srikaya dan mentega. Asha juga suka itu.
Ada juga beberapa pedagang lain yang menumpang tempat di kedai kopi ini. Ada orang India yang berjualan nasi briyani dan martabak. Ada orang Minang yang berjualan nasi soto. Dan ada juga orang Jawa yang berjualan nasi uduk untuk sarapan setiap pagi. Komplit kan? Karena memang, di wilayah ini cukup jarang ada makanan yang halal. Karena mayoritas yang tinggal disini adalah etnis Tionghoa. Jadi makanan yang dijual di sepanjang jalan itu juga rata-rata mengandung daging babi. Jadi kehadiran tiga pedagang ini benar-benar membuat perbedaan.
Ternyata, kedai kopi ini cukup terkenal sampai ke negara tetangga. Dalam beberapa kali kunjungan kami kesana, ada beberapa pelancong yang sedang ngopi. Biasanya etnis Tionghoa juga. Dari Singapura atau dari Korea. Mereka biasanya datang kesana karena ada rekomendasi dari teman-temannya juga. Selain itu, peminat tempat ini juga berasal dari kalangan orang berduit ataupun pejabat daerah. Rata-rata mereka sudah menjadi langganan lama dan sudah kenal akrab dengan si apek pemilik kedai kopi. Jadi, begitu datang, sudah langsung ber ’hai-hai’ ria.
Suasana disini memang akrab. Yang minum kopi disana biasanya jadi kenalan. Atau paling tidak bertukar sapa dan bertukar senyum. Pemilik kedai pun selalu menyapa dengan ”Halo..” atau ”Makasih ya..” Mungkin inilah yang membuat tempat ini tidak pernah ditinggalkan langganannya.
Ada juga beberapa pedagang lain yang menumpang tempat di kedai kopi ini. Ada orang India yang berjualan nasi briyani dan martabak. Ada orang Minang yang berjualan nasi soto. Dan ada juga orang Jawa yang berjualan nasi uduk untuk sarapan setiap pagi. Komplit kan? Karena memang, di wilayah ini cukup jarang ada makanan yang halal. Karena mayoritas yang tinggal disini adalah etnis Tionghoa. Jadi makanan yang dijual di sepanjang jalan itu juga rata-rata mengandung daging babi. Jadi kehadiran tiga pedagang ini benar-benar membuat perbedaan.
Ternyata, kedai kopi ini cukup terkenal sampai ke negara tetangga. Dalam beberapa kali kunjungan kami kesana, ada beberapa pelancong yang sedang ngopi. Biasanya etnis Tionghoa juga. Dari Singapura atau dari Korea. Mereka biasanya datang kesana karena ada rekomendasi dari teman-temannya juga. Selain itu, peminat tempat ini juga berasal dari kalangan orang berduit ataupun pejabat daerah. Rata-rata mereka sudah menjadi langganan lama dan sudah kenal akrab dengan si apek pemilik kedai kopi. Jadi, begitu datang, sudah langsung ber ’hai-hai’ ria.
Suasana disini memang akrab. Yang minum kopi disana biasanya jadi kenalan. Atau paling tidak bertukar sapa dan bertukar senyum. Pemilik kedai pun selalu menyapa dengan ”Halo..” atau ”Makasih ya..” Mungkin inilah yang membuat tempat ini tidak pernah ditinggalkan langganannya.
Asyik... ngopi memang asyik dan kayaknya kafe di Medan ini punya sejarah panjang ya. Saya sendiri sudah lama "kecanduan" kopi. Sehari bisa tiga gelas. Kerja malam, ngedit naskahnya teman-teman, harus pakai kopi. Baca buku, novel, pun pakai kopi hitam tubruk.
ReplyDeleteKebetulan di rumah saya, Flores, yang di desa itu ada gilingan kopi. Tetangga datang giling, sewanya ya ambil sedikit bubuk kopi-kopi itu. Dicampur macam-macam, sehingga sejak SD saya sudah biasa mencicipi kopi rasa gado-gado itu.
Sekarang saya tinggal tidak jauh dari pabrik kopi KAPAL API di Sidoarjo. Yah, makin mudah saja mencari kopi yang rasanya macam-macam itu. Cuma, saya belum cocok dengan kopi rasa hotel berbintang yang sangat pahit itu.
Salam untuk si kecil Asha. Kalau bisa si Asha ini jangan ngopi dulu ya! Xiexie.
Wah, kalau rumah saya malah dekat dengan distributor Opal Coffee di Medan nih, bang. Tapi tetap saja saya tidak kebagian.. huhuhuhuhu...padahal kepingin sekali.
ReplyDeleteAsha perlu dibiasain minum kopi juga bang, sekali-sekali. Karena kopi baik untuk kesehatan jantung (asal tidak terlalu banyak, karena bisa merusak ginjal). Makanya, Asha cuma minum kopi yang yang lebih banyak susunya, terus dibatasi cuma bisa satu sloki aja. Dia suka lho. Hehehe
Whooa... Si kecil asha sudah minum kopi??? Wah, hebat nan berani ibunya! Hehe
ReplyDeletedari deskripsi suasana, sptnya memang spt itu kopitiam tradisional org peranakan ya. Di singapra pun byk kopitiam tak bermerek dg suSana spt itu.
enak sekalixbang bernie n risma dekat dg pabrik kopi! Spt bang bernie, saya jg masih blajar menyukai kopi kapal api. Lebih sedap kopi aroma dari banceuy bandung. Saya jg pernah posting ttg kopi lho! Agaknya kit semua mahluk penggemar kopi ya! Haha
Hehe.. nggak papa, mbak. Pada dasarnya semua makanan dan minuman itu baik kok. Asalkan jumlahnya tidak berlebihan. Memangnya Aqila belum pernah dikasih minum kopi ya? Kalau Asha, minum kopi-susu sekali seminggu. Tapi ukurannya hanya 1 sloki saja. Dia juga suka, malah kadang minta nambah. Cuma papanya nggak mau kasih. Hehe
ReplyDelete