Kemarin, aku dan suamiku mendatangi sebuah praktek dokter umum untuk berobat. Praktek dokter ini memiliki banyak sekali pasien, karena si dokter terkenal bertangan dingin dan tidak membebankan ongkos periksa yang mahal. Karena itu pulalah mayoritas pasien yang berobat kepadanya berasal dari kalangan bawah. Namun tetap saja, ada segelintir orang-orang bermobil dan berpakaian bagus yang datang untuk berobat kepadanya.
Padahal tempat prakteknya terhitung sederhana saja. Dia memanfaatkan garasinya yang berukuran luas sebagai ruang tunggu. Ruang prakteknya pun berukuran kecil. Hanya berisi dua tempat tidur periksa yang dibatasi dengan tirai. Kemudian sebuah meja kerja kecil dan dua kursi kayu. Tapi tetap saja, pasiennya membludak. Orang-orang harus menunggu paling sedikit selama dua jam agar dapat bertemu dengan si dokter. Dan ini pulalah yang menjadi subjek tulisanku kali ini.
Padatnya pasien yang menunggu, ternyata telah membuat sebagian orang yang tidak punya rasa malu untuk berusaha agar bisa memotong jalur antrian. Biasanya, hal-hal seperti ini dilakukan oleh pasien yang berasal dari ”kalangan atas”, bisa terlihat dari penampilannya. Ini pengalaman pribadi loh.
Waktu kami datang kesana jam enam sore, kami mendapat nomor urut 41, sementara pasien yang sedang ditangani dokter bernomor urut 15. Jadi, masih cukup lama kami harus menunggu. Yang bertugas menjaga meja depan untuk memberikan nomor tunggu adalah seorang perempuan pendek berambut keriting yang tidak pernah tersenyum sekalipun. Matanya memandang seakan-akan sinis pada pasien-pasien yang menunggu disitu. Kalau ada pasien yang bertanya kepadanya, dia akan menjawab dengan suara ketus dan acuh tak acuh.
Setelah menunggu selama satu jam yang membosankan, dan nomor yang akan diperiksa masih di nomor 19, tiba-tiba muncul empat orang Tionghoa yang mengambil nomor antrian. Dua orang ibu-ibu, dengan dua anak remaja laki-laki yang sibuk dengan mainan di tangan mereka. Mereka terkejut ketika mendapati nomor antrian sudah di angka 45. Dan mereka sudah mulai kelimpungan karena harus menunggu sangat lama.
Tapi setengah jam kemudian, salah satu dari ibu-ibu Tionghoa ini kemudian mendekati si pembagi nomor antrian, perempuan yang bermuka masam itu. Tiba-tiba saja, muka kecutnya menghilang, dia langsung tersenyum sumringah dan sok akrab. Mereka ngobrol sekitar 10 menit sambil tertawa-tawa, seperti kawan lama. Dan imbalannya, si pasien bernomor urut 45 itu, bisa langsung masuk ke ruang praktek dokter setelah pasien bernomor 20 keluar. Hebat!!!!
Tentu saja, pasien-pasien lain yang sudah lama menunggu disitu kaget. Mereka rata-rata penduduk pribumi, baik itu Jawa ataupun Batak. Salah seorang ibu yang sepertinya orang Batak, langsung berdiri dengan sewot. Dan menanyakan,
”Kenapa si orang Cina yang baru datang itu bisa masuk duluan? Aku dari tadi disini pun belum bisa masuk. Dia baru datang, langsung kau kasih masuk. Semua orang yang datang ini sakit, bukan hanya si Cina itu.”
Dan si perempuan pendek itu pun hanya cuek saja, membuang muka dan mengerutkan bibirnya. Sekilas raut mukanya terlihat malu karena didamprat ibu-ibu di depan orang ramai. Tapi dia tidak perduli. Hanya menggerak-gerakkan mulutnya seperti mengejek dan melirik ibu yang mengomel tadi dengan sinis.
Sebelumnya, memang sudah ada pasien yang minta izin untuk masuk terlebih dahulu karena balitanya sakit dan rewel karena demam. Tapi dia tidak mengizinkan dengan alasan semua pasien yang menunggu disini juga sakit. Jadi tetap saja si ibu yang berpakaian sederhana dan menggendong anaknya itu harus menunggu gilirannya. Tapi begitu seorang ibu-ibu Cina yang berpakaian bagus yang meminta, dia langsung mengabulkannya. Padahal, yang sakit adalah dua anak remajanya yang bahkan masih bisa bermain-main dan tertawa-tawa sambil menunggu gilirannya. Kenapa dia mengabulkan permintaan pasien yang baru menunggu 15 menit dan menolak yang sudah menunggu selama satu jam?
Si dokter yang menangani pasien tentu saja tidak tahu-menahu mengenai hal ini. Dia hanya menangani pasien yang sudah masuk ke ruangannya. Dan tugas si perempuan jelek itulah untuk memastikan setiap orang mendapat giliran tunggu yang sama. Tidak ada yang lebih istimewa, tidak ada yang VIP. Sudah jelas, diskriminasi ini memang berasal dari dalam hati si perempuan berwajah asem tadi.
Akibatnya, ada beberapa ibu-ibu yang berani, langsung saja ngeloyor masuk ke ruang praktek dokter begitu melihat pasien yang sebelumnya keluar. Aku tidak tahu mereka sudah menunggu berapa lama, tapi wajah ibu-ibu itu juga sudah mulai terlihat kesal. Si penunggu cuma bisa melongo sambil berkata:
”Eh, mau kemana?”
Malangnya, dia dianggap angin lalu, karena si ibu itu tetap saja masuk. Orang-orang mulai ricuh sebentar, tapi kemudian tenang lagi. Mungkin karena memang pada dasarnya sudah tidak enak badan, ya. Jadi agak kurang berselera untuk membuat keributan.
Tapi, pasien-pasien yang kebetulan duduk di sampingku juga sudah mulai menggerutu dan memaki-maki si pembagi kartu antrian itu. Karena sikapnya yang memilih-milih, karena bibirnya yang terus mengerucut tak pernah tersenyum, karena pandangan matanya yang sinis dan karena nada bicaranya yang kasar. Aku sebenarnya sudah sangat ingin memfotonya dan memajang wajah cemberutnya itu disini, tapi berhubung karena dilarang suami, aku mencari-cari gambar di internet yang mungkin bisa sedikir menyerupai dirinya. Dan inilah dia.
Kenapa aku menulis ini? Aku merasa sedih, menyadari bahwa bahkan dalam kehidupan sehari-hari saja, diskriminasi dan pelecehan terhadap orang lain itu ternyata sudah seperti kerdipan mata, saking sudah biasanya. Bagaimana mereka-mereka yang terlihat sederhana, sering sekali dipandang sebelah mata oleh orang lain yang sebenarnya sama sederhananya dengan dia juga. Tapi si sederhana yang arogan ini merasa dia setingkat lebih tinggi dari si sederhana-sederhana yang lainnya, dan dengan mudahnya menjilat mereka yang terlihat berada di atasnya.
Untuk kasus ini, apa yang bisa menjamin si ibu-ibu Cina tadi mengajak ngobrol perempuan cemberut itu dengan hati ikhlas seperti pada teman sendiri, dan bukan karena sedang mencari kesempatan saja? Sementara, orang lain yang benar-benar meminta tolong padanya dan keadaannya lebih mendesak pun tega ia acuhkan. Bagaimana raut mukanya begitu nyata berubah ketika melihat orang yang berpakaian bagus menyapanya.
Sedikit banyak, aku agak menyesal karena berpakaian seadanya kesana ya. Seharusnya tadi aku memakai setelan yang bagus lengkap dengan stiletto-ku, berdandan, dan wangi parfum. Dan bukan datang dengan celana pendek dan T-shirt rumah seperti ini. Aku yakin, si pembagi nomor antrian itu akan tersenyum lebar melihatku. Tapi, apa mau dikata? Aku datang kesana untuk menemani suamiku yang sedang demam ini berobat. Aku tak terpikir untuk berdandan, apalagi hanya untuk duduk di samping sesama pasien yang ingin berobat. Lagipula, letakknya tidak jauh dari kompleks rumahku. Jadi, wajar saja kalau aku datang pakai sandal jepit. Aku kesana bukan untuk nongkrong, toh?
Hanya dengan menuliskan kekesalanku disinilah, komentar yang seharusnya kukatakan di depan wajah si perempuan cemberut itu bisa mendapat tampungan. Jadi, kemarahanku karena merasa diperlakukan tidak adil bisa sedikit mereda. Dan aku sudah jera berobat kesana. Walau semanjur apapun dokter yang praktek itu. Paling tidak, aku tidak akan kesana lagi selama si perempuan jelek bermulut kerucut itu masih bertugas membagikan nomor antrian disana.
Ini hanya penulisan perasaan pribadiku. Aku tidak berniat untuk menjelek-jelekkan golongan atau suku apapun disini. Hanya orang-orang yang terlibat dengan pengalamanku, yang kutuliskan disini saja, yang ingin aku kritisi. Jadi, jangan tersinggung ya..
Padahal tempat prakteknya terhitung sederhana saja. Dia memanfaatkan garasinya yang berukuran luas sebagai ruang tunggu. Ruang prakteknya pun berukuran kecil. Hanya berisi dua tempat tidur periksa yang dibatasi dengan tirai. Kemudian sebuah meja kerja kecil dan dua kursi kayu. Tapi tetap saja, pasiennya membludak. Orang-orang harus menunggu paling sedikit selama dua jam agar dapat bertemu dengan si dokter. Dan ini pulalah yang menjadi subjek tulisanku kali ini.
Padatnya pasien yang menunggu, ternyata telah membuat sebagian orang yang tidak punya rasa malu untuk berusaha agar bisa memotong jalur antrian. Biasanya, hal-hal seperti ini dilakukan oleh pasien yang berasal dari ”kalangan atas”, bisa terlihat dari penampilannya. Ini pengalaman pribadi loh.
Waktu kami datang kesana jam enam sore, kami mendapat nomor urut 41, sementara pasien yang sedang ditangani dokter bernomor urut 15. Jadi, masih cukup lama kami harus menunggu. Yang bertugas menjaga meja depan untuk memberikan nomor tunggu adalah seorang perempuan pendek berambut keriting yang tidak pernah tersenyum sekalipun. Matanya memandang seakan-akan sinis pada pasien-pasien yang menunggu disitu. Kalau ada pasien yang bertanya kepadanya, dia akan menjawab dengan suara ketus dan acuh tak acuh.
Setelah menunggu selama satu jam yang membosankan, dan nomor yang akan diperiksa masih di nomor 19, tiba-tiba muncul empat orang Tionghoa yang mengambil nomor antrian. Dua orang ibu-ibu, dengan dua anak remaja laki-laki yang sibuk dengan mainan di tangan mereka. Mereka terkejut ketika mendapati nomor antrian sudah di angka 45. Dan mereka sudah mulai kelimpungan karena harus menunggu sangat lama.
Tapi setengah jam kemudian, salah satu dari ibu-ibu Tionghoa ini kemudian mendekati si pembagi nomor antrian, perempuan yang bermuka masam itu. Tiba-tiba saja, muka kecutnya menghilang, dia langsung tersenyum sumringah dan sok akrab. Mereka ngobrol sekitar 10 menit sambil tertawa-tawa, seperti kawan lama. Dan imbalannya, si pasien bernomor urut 45 itu, bisa langsung masuk ke ruang praktek dokter setelah pasien bernomor 20 keluar. Hebat!!!!
Tentu saja, pasien-pasien lain yang sudah lama menunggu disitu kaget. Mereka rata-rata penduduk pribumi, baik itu Jawa ataupun Batak. Salah seorang ibu yang sepertinya orang Batak, langsung berdiri dengan sewot. Dan menanyakan,
”Kenapa si orang Cina yang baru datang itu bisa masuk duluan? Aku dari tadi disini pun belum bisa masuk. Dia baru datang, langsung kau kasih masuk. Semua orang yang datang ini sakit, bukan hanya si Cina itu.”
Dan si perempuan pendek itu pun hanya cuek saja, membuang muka dan mengerutkan bibirnya. Sekilas raut mukanya terlihat malu karena didamprat ibu-ibu di depan orang ramai. Tapi dia tidak perduli. Hanya menggerak-gerakkan mulutnya seperti mengejek dan melirik ibu yang mengomel tadi dengan sinis.
Sebelumnya, memang sudah ada pasien yang minta izin untuk masuk terlebih dahulu karena balitanya sakit dan rewel karena demam. Tapi dia tidak mengizinkan dengan alasan semua pasien yang menunggu disini juga sakit. Jadi tetap saja si ibu yang berpakaian sederhana dan menggendong anaknya itu harus menunggu gilirannya. Tapi begitu seorang ibu-ibu Cina yang berpakaian bagus yang meminta, dia langsung mengabulkannya. Padahal, yang sakit adalah dua anak remajanya yang bahkan masih bisa bermain-main dan tertawa-tawa sambil menunggu gilirannya. Kenapa dia mengabulkan permintaan pasien yang baru menunggu 15 menit dan menolak yang sudah menunggu selama satu jam?
Si dokter yang menangani pasien tentu saja tidak tahu-menahu mengenai hal ini. Dia hanya menangani pasien yang sudah masuk ke ruangannya. Dan tugas si perempuan jelek itulah untuk memastikan setiap orang mendapat giliran tunggu yang sama. Tidak ada yang lebih istimewa, tidak ada yang VIP. Sudah jelas, diskriminasi ini memang berasal dari dalam hati si perempuan berwajah asem tadi.
Akibatnya, ada beberapa ibu-ibu yang berani, langsung saja ngeloyor masuk ke ruang praktek dokter begitu melihat pasien yang sebelumnya keluar. Aku tidak tahu mereka sudah menunggu berapa lama, tapi wajah ibu-ibu itu juga sudah mulai terlihat kesal. Si penunggu cuma bisa melongo sambil berkata:
”Eh, mau kemana?”
Malangnya, dia dianggap angin lalu, karena si ibu itu tetap saja masuk. Orang-orang mulai ricuh sebentar, tapi kemudian tenang lagi. Mungkin karena memang pada dasarnya sudah tidak enak badan, ya. Jadi agak kurang berselera untuk membuat keributan.
Tapi, pasien-pasien yang kebetulan duduk di sampingku juga sudah mulai menggerutu dan memaki-maki si pembagi kartu antrian itu. Karena sikapnya yang memilih-milih, karena bibirnya yang terus mengerucut tak pernah tersenyum, karena pandangan matanya yang sinis dan karena nada bicaranya yang kasar. Aku sebenarnya sudah sangat ingin memfotonya dan memajang wajah cemberutnya itu disini, tapi berhubung karena dilarang suami, aku mencari-cari gambar di internet yang mungkin bisa sedikir menyerupai dirinya. Dan inilah dia.
Kenapa aku menulis ini? Aku merasa sedih, menyadari bahwa bahkan dalam kehidupan sehari-hari saja, diskriminasi dan pelecehan terhadap orang lain itu ternyata sudah seperti kerdipan mata, saking sudah biasanya. Bagaimana mereka-mereka yang terlihat sederhana, sering sekali dipandang sebelah mata oleh orang lain yang sebenarnya sama sederhananya dengan dia juga. Tapi si sederhana yang arogan ini merasa dia setingkat lebih tinggi dari si sederhana-sederhana yang lainnya, dan dengan mudahnya menjilat mereka yang terlihat berada di atasnya.
Untuk kasus ini, apa yang bisa menjamin si ibu-ibu Cina tadi mengajak ngobrol perempuan cemberut itu dengan hati ikhlas seperti pada teman sendiri, dan bukan karena sedang mencari kesempatan saja? Sementara, orang lain yang benar-benar meminta tolong padanya dan keadaannya lebih mendesak pun tega ia acuhkan. Bagaimana raut mukanya begitu nyata berubah ketika melihat orang yang berpakaian bagus menyapanya.
Sedikit banyak, aku agak menyesal karena berpakaian seadanya kesana ya. Seharusnya tadi aku memakai setelan yang bagus lengkap dengan stiletto-ku, berdandan, dan wangi parfum. Dan bukan datang dengan celana pendek dan T-shirt rumah seperti ini. Aku yakin, si pembagi nomor antrian itu akan tersenyum lebar melihatku. Tapi, apa mau dikata? Aku datang kesana untuk menemani suamiku yang sedang demam ini berobat. Aku tak terpikir untuk berdandan, apalagi hanya untuk duduk di samping sesama pasien yang ingin berobat. Lagipula, letakknya tidak jauh dari kompleks rumahku. Jadi, wajar saja kalau aku datang pakai sandal jepit. Aku kesana bukan untuk nongkrong, toh?
Hanya dengan menuliskan kekesalanku disinilah, komentar yang seharusnya kukatakan di depan wajah si perempuan cemberut itu bisa mendapat tampungan. Jadi, kemarahanku karena merasa diperlakukan tidak adil bisa sedikit mereda. Dan aku sudah jera berobat kesana. Walau semanjur apapun dokter yang praktek itu. Paling tidak, aku tidak akan kesana lagi selama si perempuan jelek bermulut kerucut itu masih bertugas membagikan nomor antrian disana.
Ini hanya penulisan perasaan pribadiku. Aku tidak berniat untuk menjelek-jelekkan golongan atau suku apapun disini. Hanya orang-orang yang terlibat dengan pengalamanku, yang kutuliskan disini saja, yang ingin aku kritisi. Jadi, jangan tersinggung ya..
No comments:
Post a Comment
Visit my other blogs:
Mommy Mayonnaise
Mirror On The Wall
Cerita Film
Spamming and insulting comments are not allowed and will be deleted for sure. Thanks for sharing your opinions.