Begitu sulitnya mencari lapangan pekerjaan di republic ini, telah membuat banyak pegawai dan karyawan hanya mampu mengelus dada melihat kesewenang-wenangan perusahaan yang membuat peraturan kerja. Karena ketidak-berdayaan para pekerja atau karyawan atau buruh atau apapun namanya, telah membuat mereka memilih untuk bersikap pasrah pada kenyataan. Sepahit apapun itu. Hanya demi menjaga agar asap dapur mereka tetap bisa mengepul.
Aku mengetahui sebuah perusahaan yang memperjakan pihak ketiga, yang dalam bahasa kerennya Outsourcing. Tapi, aku lebih menyukai istilah pegawai kontrak . Dalam tahap kontrak, biasanya yang diharapkan perusahaan adalah tenaganya dan bukan pemikirannya. Mereka akan diberikan jadwal kerja dengan sistem shift, dimana ketentuan penetapan libur berada di tangan si koordinator. Mereka akan diberikan terget tertentu, dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, tanpa didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Ketika jam kerja, cukup sulit untuk bisa melakukan hal-hal yang berhubungan dengan fungsi sebagai manusia. Peraturan dibuat sedemikian rupa, sehingga sangat minim sekali waktu yang dibutuhkan untuk mengambil minuman ke pantry, misalnya. Dan yang paling tidak manusiawi adalah pengaturan jadwal ke toilet!
Seorang rekanku, sebut saja namanya Ika, menceritakan pengalamannya selama bekerja sebagai pegawai kontrak si perusahaan itu. Mereka bekerja selama tujuh jam perhari, enam kali seminggu. Pada awalnya, mereka terdaftar sebagai pegawai kontrak yang dibawahi langsung oleh perusahaan itu. Perusahaan ini adalah sebuah perusahaan internasional yang sangat bonafide dengan omset miliaran rupiah. Banyak orang yang antri bahkan bersedia membayar uang suap agar bisa masuk dan bekerja disana. Nasib pegawai kontrak cukup baik. Walaupun gajinya termasuk kecil, mereka masih terbantu dari tambahan pemberian uang makan dan tanggungan kesehatan.
Lalu, ada perubahan yang menyebabkan kalau pegawai kontrak tidak lagi berada langsung dibawah perusahaan tetapi dipegang oleh pihak ketiga yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan. Mulai ada perubahan. Yang pertama dialami adalah besarnya uang makan dipotong hingga setengahnya dan jam kerja ditambah. Namun, masih ada segi positifnya karena walaupun jadawal libur jadi berkurang, namun ada tambahan pemasukan dari uang lembur. Sayangnya, uang lembur yang jumlahnya tidak seberapa itu harus digunakan untuk membayar biaya dokter. Karena banyak dari mereka yang jatuh sakit karena kelelahan.
Lalu perubahan yang terakhir pun terjadi. Pegawai kontrak kini berpindah 'pimpinan' lagi. Perusahaan pihak ketiga tadi pun didepak. Diganti dengan perusahaan baru yang disebut sebagai anak perusahaan. Ternyata disebut sebagai anak perusahaan adalah karena mereka yang memegang posisi manajerial adalah para pegawai PENSIUNAN dari perusahaan yang kemudian diberdayakan kembali. Maka, orang-orang yang sudah diistirahatkan oleh perusahaan itupun kembali diminta untuk memimpin anak perusahaan yang mengatur nasib para pegawai kontrak. Dan perubahan besar-besaran pun terjadi.
Yang pertama, anak si direktur perusahaan mini itu pun diangkat menjadi koordinator. Pada awalnya si anak ini hanya mendapat posisi sebagai satpam di perusahaan induk, karena dia hanya lulusan SMA. Hebatnya, begitu ayahnya menjadi pimpinan, dia pun naik pangkat menjadi koordinator yang mengurusi bagian pegawai kontrak.
Diikuti dengan adanya pemotongan gaji. Tampaknya perusahaan baru ini menganggap uang yang diterima pekerja kontrak itu selama ini terlalu banyak. Jumlah tanggungan kesehatan pun mendapat penyesuaian. Kalau sebelumnya berdasarkan sistem reimbursement, berganti dengan pemberian kartu gesek yang bisa dipergunakan ketika berobat. Kelihatannya menyenangkan karena semakin praktis. Kenyataannya, itu diberlakukan karena sudah ada pembatasan dalam tanggungan kesehatan. Jadi, tidak semua penyakit lagi yang bisa ditanggung.
Terakhir sekali yang mereka ubah adalah masa kontrak kerja. Pada awalnya sekali, kontrak kerja berlaku selama setahun dengan perpanjangan setiap tahunnya. Kemudian ada perubahan dimana kontrak berlaku menjadi bulanan. Dan sistem perpanjangan akan dilakukan setiap bulannya. Jadi, setiap akhir bulan, para karyawan kontrak ini harus berdebar-debar menunggu kepastian apakah akan mendapat perpanjangan kontrak atau tidak. Kalau ternyata menurut koordinator sistem kerjanya tidak memenuhi standart, maka pada tanggal 1 bulan berikutnya dia sudah tidak akan bekerja lagi. Jadi mirip seperti PHK hanya saja yang ini tanpa pemberitahuan beberapa hari sebelumnya.
Kabar terakhir yang saya dapatkan, perusahaan itu sedang mempersiapkan untuk segera melaksanakan sistem kontrak harian alias Freelance. Artinya, tidak ada lagi hari libur yang yang dibayar seperti halnya pada sistem kontrak bulanan dulu. Kalau mau mendapat gaji yang besar, silahkan kerja. Kalau tidak bekerja, berarti tidak ada gaji.
Hidup memang susah, tapi tetap harus kita jalani.
Aku mengetahui sebuah perusahaan yang memperjakan pihak ketiga, yang dalam bahasa kerennya Outsourcing. Tapi, aku lebih menyukai istilah pegawai kontrak . Dalam tahap kontrak, biasanya yang diharapkan perusahaan adalah tenaganya dan bukan pemikirannya. Mereka akan diberikan jadwal kerja dengan sistem shift, dimana ketentuan penetapan libur berada di tangan si koordinator. Mereka akan diberikan terget tertentu, dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, tanpa didukung oleh infrastruktur yang memadai.
Ketika jam kerja, cukup sulit untuk bisa melakukan hal-hal yang berhubungan dengan fungsi sebagai manusia. Peraturan dibuat sedemikian rupa, sehingga sangat minim sekali waktu yang dibutuhkan untuk mengambil minuman ke pantry, misalnya. Dan yang paling tidak manusiawi adalah pengaturan jadwal ke toilet!
Seorang rekanku, sebut saja namanya Ika, menceritakan pengalamannya selama bekerja sebagai pegawai kontrak si perusahaan itu. Mereka bekerja selama tujuh jam perhari, enam kali seminggu. Pada awalnya, mereka terdaftar sebagai pegawai kontrak yang dibawahi langsung oleh perusahaan itu. Perusahaan ini adalah sebuah perusahaan internasional yang sangat bonafide dengan omset miliaran rupiah. Banyak orang yang antri bahkan bersedia membayar uang suap agar bisa masuk dan bekerja disana. Nasib pegawai kontrak cukup baik. Walaupun gajinya termasuk kecil, mereka masih terbantu dari tambahan pemberian uang makan dan tanggungan kesehatan.
Lalu, ada perubahan yang menyebabkan kalau pegawai kontrak tidak lagi berada langsung dibawah perusahaan tetapi dipegang oleh pihak ketiga yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan. Mulai ada perubahan. Yang pertama dialami adalah besarnya uang makan dipotong hingga setengahnya dan jam kerja ditambah. Namun, masih ada segi positifnya karena walaupun jadawal libur jadi berkurang, namun ada tambahan pemasukan dari uang lembur. Sayangnya, uang lembur yang jumlahnya tidak seberapa itu harus digunakan untuk membayar biaya dokter. Karena banyak dari mereka yang jatuh sakit karena kelelahan.
Lalu perubahan yang terakhir pun terjadi. Pegawai kontrak kini berpindah 'pimpinan' lagi. Perusahaan pihak ketiga tadi pun didepak. Diganti dengan perusahaan baru yang disebut sebagai anak perusahaan. Ternyata disebut sebagai anak perusahaan adalah karena mereka yang memegang posisi manajerial adalah para pegawai PENSIUNAN dari perusahaan yang kemudian diberdayakan kembali. Maka, orang-orang yang sudah diistirahatkan oleh perusahaan itupun kembali diminta untuk memimpin anak perusahaan yang mengatur nasib para pegawai kontrak. Dan perubahan besar-besaran pun terjadi.
Yang pertama, anak si direktur perusahaan mini itu pun diangkat menjadi koordinator. Pada awalnya si anak ini hanya mendapat posisi sebagai satpam di perusahaan induk, karena dia hanya lulusan SMA. Hebatnya, begitu ayahnya menjadi pimpinan, dia pun naik pangkat menjadi koordinator yang mengurusi bagian pegawai kontrak.
Diikuti dengan adanya pemotongan gaji. Tampaknya perusahaan baru ini menganggap uang yang diterima pekerja kontrak itu selama ini terlalu banyak. Jumlah tanggungan kesehatan pun mendapat penyesuaian. Kalau sebelumnya berdasarkan sistem reimbursement, berganti dengan pemberian kartu gesek yang bisa dipergunakan ketika berobat. Kelihatannya menyenangkan karena semakin praktis. Kenyataannya, itu diberlakukan karena sudah ada pembatasan dalam tanggungan kesehatan. Jadi, tidak semua penyakit lagi yang bisa ditanggung.
Terakhir sekali yang mereka ubah adalah masa kontrak kerja. Pada awalnya sekali, kontrak kerja berlaku selama setahun dengan perpanjangan setiap tahunnya. Kemudian ada perubahan dimana kontrak berlaku menjadi bulanan. Dan sistem perpanjangan akan dilakukan setiap bulannya. Jadi, setiap akhir bulan, para karyawan kontrak ini harus berdebar-debar menunggu kepastian apakah akan mendapat perpanjangan kontrak atau tidak. Kalau ternyata menurut koordinator sistem kerjanya tidak memenuhi standart, maka pada tanggal 1 bulan berikutnya dia sudah tidak akan bekerja lagi. Jadi mirip seperti PHK hanya saja yang ini tanpa pemberitahuan beberapa hari sebelumnya.
Kabar terakhir yang saya dapatkan, perusahaan itu sedang mempersiapkan untuk segera melaksanakan sistem kontrak harian alias Freelance. Artinya, tidak ada lagi hari libur yang yang dibayar seperti halnya pada sistem kontrak bulanan dulu. Kalau mau mendapat gaji yang besar, silahkan kerja. Kalau tidak bekerja, berarti tidak ada gaji.
Hidup memang susah, tapi tetap harus kita jalani.
Yah nama juga zaman sekarang...jarang ada yang ngak kontrak sob...
ReplyDeleteBUMN aja ada karyawan kontrak...gmana lagi swasta murni?? Kita berharap pemerintah jangan hanya berpihak pada Pengusaha saja...tolong diperhatikan para karyawan...
Rumah ngontrak...kerja juga kontrak..!!!!
..kalau kerja udah jelas pasti semua maunya pake sistem kontrak. kalau dipikir2 di negeri ini kita semua harus ngontrak juga lo, mulai dari lahir sampai mati ngontrak teruss... jangan2 kontrak sudah jadi budaya di negeri ini ya.
ReplyDeleteakal2an manajemen perusahaan untuk menghindari pesangon PHK....dengan sistem kontrak menggurangi anggaran pengeluaran tp kesejahteraan karyawan tdk terpenuhi..
ReplyDelete