Hari Sabtu kemarin, kami sekeluarga berkesempatan untuk bisa mengunjungi Danau Toba di kota Parapat, Sumatera Utara. Hmm...jadi teringat tulisanku kemarin tentang danau yang bisa membunuh.
Sudah cukup lama juga aku tidak kesana. Kami berangkat dengan mengendarai mobil sekitar pukul 11 siang. Sepanjang perjalanan, cuaca terlihat mulai mendung dan sesekali gerimis pun turun. Asha tertidur sepanjang perjalanan. Syukurlah. Dengan begitu dia tidak mabuk darat dan muntah.
Jalanan tidak terlalu ramai, baik dari ataupun menuju ke kota Parapat. Hanya beberapa mobil yang kami lihat berhenti di pinggir jalan. Kebanyakan karena ada anggota rombongannya yang muntah karena mabuk darat.
Sekitar sejam kemudian, kami sampai di Parapat. Dan memutuskan untuk bersantai di pantai di depan salah satu hotel disana, bernama Hotel Bahari. Dengan membayar tiket sebesar 5000 rupiah/orang, kami sudah bisa menikmati suasana pantai yang pasti lebih bersih daripada di pantai umum yang biasanya bebas bea masuk tapi pantainya kotor dan amburadul.
Di pantai depan hotel ternyata sudah ramai dengan pengunjung. Umumnya rombongan besar yang terdiri dari beberapa anggota keluarga. Beruntung kami masih mendapat sebuah pondokan kecil beratap bambu yang bisa dipergunakan untuk bersantai dan berteduh. Aku dengan suamiku pergi sebentar untuk membeli makan siang. Ketika kami kembali ke hotel, hujan pun mulai turun. Nasi bungkus yang kami makan cukup enak, sementara menu untuk Asha adalah sop.
Ternyata hujan tak kunjung berhenti. Begitu selesai makan, kami hanya bisa memandang riak-riak air hujan di permukaan danau. Cuaca mendung membuat warna air danau tak lagi biru, namun kelabu. Tapi tak kalah indahnya. Perpaduan warna kelabu tua air danau dengan warna kelabu langit yang lebih muda, tampak harmonis. Ditambah semburat hijau barisan pepohonan dan warna warni ceria perahu-perahu bebek mungil yang memenuhi sepanjang bibir pantai.
Padahal aku sudah mempersiapkan baju ganti untuk suami dan anakku, kalau-kalau mereka berniat untuk berenang di danau. Tapi karena hujan, kami hanya bisa duduk-duduk di pondokan sambil mengawasi tingkah polah Asha yang lucu. Dia mempermainkan semua benda yang bisa diraih oleh tangan mungilnya. Botol air mineral, tempat air minum, bungkusan kacang rebus, chitato bahkan selendang dan sarung pantai yang kami bawa. Dialah yang menjadi penghibur acara piknik kami yang diguyur hujan. Ternyata menyenangkan juga, bermain-main dengan Asha sambil menikmati keindahan Danau Toba.
Namun kami dikejutkan dengan pemandangan menyedihkan. Tiba-tiba saja, sungai kecil yang berada di samping hotel meluap dan mengalirkan tumpukan sampah yang sangat banyak ke danau. Airnya keruh berwarna coklat pekat karena bercampur lumpur. Bersama arus air yang deras itu, tampaklah banyak sekali sampah berupa kaleng-kaleng dan botol-botol bekas minuman yang berputar-putar karena arus air dan kemudian terapung-apung bergerombol di permukaan danau. Selain itu juga ada kayu, plastik dan banyak sekali sampah rumah tangga. Aliran air yang berlumpur dan sangat keruh ternyata cukup berbau dan mampu mengubah sedikit warna permukaan danau. Yang tadinya kelabu bening menjadi agak kecoklatan. Menjijikkan.
Diam-diam aku bersyukur karena hujan membuat kami batal berenang di danau. Aku tidak bisa membayangkan anakku bermain air di pantai yang dijadikan sebagai muara pembuangan 'got raksasa' seperti itu.
Ketika hujan mulai mereda, perlahan-lahan tumpukan sampah itupun mulai menyebar dan terdorong ombak ke tepi pantai. Namun, sepertinya peristiwa itu tidak terlalu diambil pusing oleh tamu-tamu yang lain. Begitu hujan reda, anak-anak kembali menceburkan diri ke danau. Lalu mulai bermain kembali dengan riang gembira sambil berulang kali melompat dan membenamkan diri ke dalam air. Apa orangtuanya tidak melihat kondisi air yang sudah tercemar itu? Atau mungkin mereka menganggap itu hal yang biasa.
Sekitar pukul 3 sore, hujan sudah reda. Kami memutuskan untuk kembali saja ke Siantar, karena sudah kehilangan minat untuk bermain-main di air.
Mungkin peristiwa buruk yang terjadi tadi akan terus terulang. Dan aku yakin kalau sungai limbah itu bukan satu-satunya yang bermuara ke Danau Toba. Apalagi kalau masyarakat kota Parapat sendiri tidak segera sadar lingkungan. Bukan mustahil kalau Danau Toba akhirnya hanya akan dinikmati oleh penduduk kota Parapat sendiri saja.
Sebenarnya kemunduran ini sudah terlihat dari sangat menurunnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Danau Toba. Dulu, para bule itu sering sekali terlihat berkeliaran baik di Parapat ataupun di Pulau Samosir di tengah Danau Toba. Sementara sekarang, bisa dilihat kalau 'hanya' wisatawan lokal yang berasal dari dari daerah-daerah sekitarnya saja yang datang berkunjung.
Danau Toba dulu adalah kebanggaan orang SUMUT. Tapi, kalau tidak dijaga, Danau kebanggaan itu pasti akan tinggal kenangan saja, karena sudah menjadi tempat pembuangan sampah belaka.
Sudah cukup lama juga aku tidak kesana. Kami berangkat dengan mengendarai mobil sekitar pukul 11 siang. Sepanjang perjalanan, cuaca terlihat mulai mendung dan sesekali gerimis pun turun. Asha tertidur sepanjang perjalanan. Syukurlah. Dengan begitu dia tidak mabuk darat dan muntah.
Jalanan tidak terlalu ramai, baik dari ataupun menuju ke kota Parapat. Hanya beberapa mobil yang kami lihat berhenti di pinggir jalan. Kebanyakan karena ada anggota rombongannya yang muntah karena mabuk darat.
Sekitar sejam kemudian, kami sampai di Parapat. Dan memutuskan untuk bersantai di pantai di depan salah satu hotel disana, bernama Hotel Bahari. Dengan membayar tiket sebesar 5000 rupiah/orang, kami sudah bisa menikmati suasana pantai yang pasti lebih bersih daripada di pantai umum yang biasanya bebas bea masuk tapi pantainya kotor dan amburadul.
Di pantai depan hotel ternyata sudah ramai dengan pengunjung. Umumnya rombongan besar yang terdiri dari beberapa anggota keluarga. Beruntung kami masih mendapat sebuah pondokan kecil beratap bambu yang bisa dipergunakan untuk bersantai dan berteduh. Aku dengan suamiku pergi sebentar untuk membeli makan siang. Ketika kami kembali ke hotel, hujan pun mulai turun. Nasi bungkus yang kami makan cukup enak, sementara menu untuk Asha adalah sop.
Ternyata hujan tak kunjung berhenti. Begitu selesai makan, kami hanya bisa memandang riak-riak air hujan di permukaan danau. Cuaca mendung membuat warna air danau tak lagi biru, namun kelabu. Tapi tak kalah indahnya. Perpaduan warna kelabu tua air danau dengan warna kelabu langit yang lebih muda, tampak harmonis. Ditambah semburat hijau barisan pepohonan dan warna warni ceria perahu-perahu bebek mungil yang memenuhi sepanjang bibir pantai.
Padahal aku sudah mempersiapkan baju ganti untuk suami dan anakku, kalau-kalau mereka berniat untuk berenang di danau. Tapi karena hujan, kami hanya bisa duduk-duduk di pondokan sambil mengawasi tingkah polah Asha yang lucu. Dia mempermainkan semua benda yang bisa diraih oleh tangan mungilnya. Botol air mineral, tempat air minum, bungkusan kacang rebus, chitato bahkan selendang dan sarung pantai yang kami bawa. Dialah yang menjadi penghibur acara piknik kami yang diguyur hujan. Ternyata menyenangkan juga, bermain-main dengan Asha sambil menikmati keindahan Danau Toba.
Namun kami dikejutkan dengan pemandangan menyedihkan. Tiba-tiba saja, sungai kecil yang berada di samping hotel meluap dan mengalirkan tumpukan sampah yang sangat banyak ke danau. Airnya keruh berwarna coklat pekat karena bercampur lumpur. Bersama arus air yang deras itu, tampaklah banyak sekali sampah berupa kaleng-kaleng dan botol-botol bekas minuman yang berputar-putar karena arus air dan kemudian terapung-apung bergerombol di permukaan danau. Selain itu juga ada kayu, plastik dan banyak sekali sampah rumah tangga. Aliran air yang berlumpur dan sangat keruh ternyata cukup berbau dan mampu mengubah sedikit warna permukaan danau. Yang tadinya kelabu bening menjadi agak kecoklatan. Menjijikkan.
Diam-diam aku bersyukur karena hujan membuat kami batal berenang di danau. Aku tidak bisa membayangkan anakku bermain air di pantai yang dijadikan sebagai muara pembuangan 'got raksasa' seperti itu.
Ketika hujan mulai mereda, perlahan-lahan tumpukan sampah itupun mulai menyebar dan terdorong ombak ke tepi pantai. Namun, sepertinya peristiwa itu tidak terlalu diambil pusing oleh tamu-tamu yang lain. Begitu hujan reda, anak-anak kembali menceburkan diri ke danau. Lalu mulai bermain kembali dengan riang gembira sambil berulang kali melompat dan membenamkan diri ke dalam air. Apa orangtuanya tidak melihat kondisi air yang sudah tercemar itu? Atau mungkin mereka menganggap itu hal yang biasa.
Sekitar pukul 3 sore, hujan sudah reda. Kami memutuskan untuk kembali saja ke Siantar, karena sudah kehilangan minat untuk bermain-main di air.
Mungkin peristiwa buruk yang terjadi tadi akan terus terulang. Dan aku yakin kalau sungai limbah itu bukan satu-satunya yang bermuara ke Danau Toba. Apalagi kalau masyarakat kota Parapat sendiri tidak segera sadar lingkungan. Bukan mustahil kalau Danau Toba akhirnya hanya akan dinikmati oleh penduduk kota Parapat sendiri saja.
Sebenarnya kemunduran ini sudah terlihat dari sangat menurunnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Danau Toba. Dulu, para bule itu sering sekali terlihat berkeliaran baik di Parapat ataupun di Pulau Samosir di tengah Danau Toba. Sementara sekarang, bisa dilihat kalau 'hanya' wisatawan lokal yang berasal dari dari daerah-daerah sekitarnya saja yang datang berkunjung.
Danau Toba dulu adalah kebanggaan orang SUMUT. Tapi, kalau tidak dijaga, Danau kebanggaan itu pasti akan tinggal kenangan saja, karena sudah menjadi tempat pembuangan sampah belaka.
danau toba ini bagus banget pemandangannya. suatu saat aku akan ke sana. horas!!!!
ReplyDeleteWah, danau Toba saya kenal sejak SD yang terkenal dengan keindahannya itu. Kapan ya saya bisa ke sana?
ReplyDeletebagus ya pemandangannya. terus terang henny juga belum pernah ke sana, jadi kepengen mampir..
ReplyDelete