Negara ini memang sedang krisis listrik. Kita semua tahu itu. Rasanya sudah lama sekali kita dipaksa untuk menerima kondisi pemadaman listrik bergilir sampai 4 jam setiap harinya. Diikuti dengan seribu anjuran agar menghemat pemakaian listrik harian, minimal dengan memadamkan satu lampu setiap harinya. Dan anjuran ini benar-benar aku lakukan loh. Tidak hanya satu, tapi empat lampu selalu dipadamkan setiap harinya.
Tentunya, sebagai kompensasi dari perilaku hemat energi itu, aku berharap tagihan listrik bulanan di rumah juga akan hemat. Wajar saja toh? Wong 4 lampu selalu dipadamkan. Tapi ternyata, tagihan listrikku tetap segitu-segitu saja, bahkan bisa dibilang bertambah mahal. Setiap bulan, jumlah yang harus kubayar semakin mahal. Padahal, peralatan elektronik di rumahku tidak bertambah. Heran.
Akhirnya, aku memutuskan untuk “memasang mata” ke arah si abang pencatat angka meteran listrik yang datang setiap bulan. Sebenarnya, aku juga agak sebal dengan si abang listrik ini, karena dia menolak menggunakan angka yang kucatat di papan khusus meteran listrik di depan rumah. Dia mau lihat sendiri ke meteran listriknya. Sementara si abang PAM nggak sampai segitu repotnya. Dengan tenang dan percaya di mencatat angka meteran PAM yang kutulis.
Setelah “penelitian” tiga bulan, aku menemukan kalau ternyata angka meteran yang dicatat si abang listrik itu selalu berbeda dengan angka meteran di kuitansi tagihan PLN. Bukannya selisih menjadi lebih sedikit, tapi menjadi lebih banyak. Misalnya, kalau si abang listrik mencatat angka 1759, di kwitansi PLN akan ditagihkan 1779. Bujubunee…. Bahkan ada selisih sampai 79 angka di kuitansi PLN ku.
Aku sudah menegur si abang listrik, dan menanyakan selisih yang lumayan banyak itu. Dia cuma mengatakan agar aku menanyakan langsung ke kantor. Heran. Ini yang salah yang mana ya? Si abang listrik yang datang dengan pencatat angka elektroniknya yang terlihat modern itu, atau komputer di kantor PLN yang hang. Dan hal ini sudah berlangsung selama 6 bulan loh.
Terus terang, aku sebenarnya nggak ikhlas dengan kondisi seperti ini. Aku sudah menerapkan anjuran untuk berhemat energi di rumahku, sekalian berharap akan berhemat di pembayaran listrik bulanan juga. Tapi, apa lacur? Semakin berhemat, pembayaran listrikku tetap bertambah setiap bulannya. Bahkan dalam keadaan sering terkena pemadaman bergilir pun, tagihan listrikku tetap banyak, heran.
Aku sempat juga membaca surat pembaca di majalah TEMPO yang mengeluhkan hal yang sama. Kalau tagihan yang mereka terima lebih banyak dari yang mereka pergunakan. Berarti, kejadian ini bukan hanya aku sendiri yang mengalaminya. Jadi, coba di cek lagi deh, tagihan listriknya, kawan-kawan. Khususnya, ibu-ibu kayak aku ini, yang berurusan dengan tagihan bulanan. Aku yakin banyak yang sudah mengalami, tapi tidak terlalu memperhatikan. Atau malah ada diantara kawan-kawan yang selisih angka pemakaiannya mencapai 100 angka. Coba diperhatikan ulang. Mungkin, biaya selisih itu tidak seberapa, tapi tetap saja konsumen akan merasa tertipu, bukan? Hemat energi, tapi biaya tetap saja mahal. Huh!
Tentunya, sebagai kompensasi dari perilaku hemat energi itu, aku berharap tagihan listrik bulanan di rumah juga akan hemat. Wajar saja toh? Wong 4 lampu selalu dipadamkan. Tapi ternyata, tagihan listrikku tetap segitu-segitu saja, bahkan bisa dibilang bertambah mahal. Setiap bulan, jumlah yang harus kubayar semakin mahal. Padahal, peralatan elektronik di rumahku tidak bertambah. Heran.
Akhirnya, aku memutuskan untuk “memasang mata” ke arah si abang pencatat angka meteran listrik yang datang setiap bulan. Sebenarnya, aku juga agak sebal dengan si abang listrik ini, karena dia menolak menggunakan angka yang kucatat di papan khusus meteran listrik di depan rumah. Dia mau lihat sendiri ke meteran listriknya. Sementara si abang PAM nggak sampai segitu repotnya. Dengan tenang dan percaya di mencatat angka meteran PAM yang kutulis.
Setelah “penelitian” tiga bulan, aku menemukan kalau ternyata angka meteran yang dicatat si abang listrik itu selalu berbeda dengan angka meteran di kuitansi tagihan PLN. Bukannya selisih menjadi lebih sedikit, tapi menjadi lebih banyak. Misalnya, kalau si abang listrik mencatat angka 1759, di kwitansi PLN akan ditagihkan 1779. Bujubunee…. Bahkan ada selisih sampai 79 angka di kuitansi PLN ku.
Aku sudah menegur si abang listrik, dan menanyakan selisih yang lumayan banyak itu. Dia cuma mengatakan agar aku menanyakan langsung ke kantor. Heran. Ini yang salah yang mana ya? Si abang listrik yang datang dengan pencatat angka elektroniknya yang terlihat modern itu, atau komputer di kantor PLN yang hang. Dan hal ini sudah berlangsung selama 6 bulan loh.
Terus terang, aku sebenarnya nggak ikhlas dengan kondisi seperti ini. Aku sudah menerapkan anjuran untuk berhemat energi di rumahku, sekalian berharap akan berhemat di pembayaran listrik bulanan juga. Tapi, apa lacur? Semakin berhemat, pembayaran listrikku tetap bertambah setiap bulannya. Bahkan dalam keadaan sering terkena pemadaman bergilir pun, tagihan listrikku tetap banyak, heran.
Aku sempat juga membaca surat pembaca di majalah TEMPO yang mengeluhkan hal yang sama. Kalau tagihan yang mereka terima lebih banyak dari yang mereka pergunakan. Berarti, kejadian ini bukan hanya aku sendiri yang mengalaminya. Jadi, coba di cek lagi deh, tagihan listriknya, kawan-kawan. Khususnya, ibu-ibu kayak aku ini, yang berurusan dengan tagihan bulanan. Aku yakin banyak yang sudah mengalami, tapi tidak terlalu memperhatikan. Atau malah ada diantara kawan-kawan yang selisih angka pemakaiannya mencapai 100 angka. Coba diperhatikan ulang. Mungkin, biaya selisih itu tidak seberapa, tapi tetap saja konsumen akan merasa tertipu, bukan? Hemat energi, tapi biaya tetap saja mahal. Huh!