Kemarin malam, ada acara seru di Natgeo Channel. Yang buat acaranya jadi menarik, adalah karena host-nya ternyata sedang berada di Indonesia. Mantap nih. Jarang-jarang lihat Indonesia masuk channel luar seperti ini. Jadilah kami bertiga (aku, suami dan Asha yang sok ngerti) duduk manis di depan TV untuk menonton kelanjutannya.
Nama programnya adalah Equator, jadi pada intinya host-nya akan mengujungi setiap kota yang dilalui garis khatulistiwa. Kebetulan saja, waktu itu dia sampai di Indonesia. Tapi kami tidak tahu pasti tahun berapa, karena nggak ada informasi yang lengkap tentang tahun kunjungannya.
Waktu itu dia baru saja turun dari perahu dan mendarat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemandunya mengajaknya makan sate padang dan dia sepertinya suka. Sampai ketika dia dibawa ke pasar tradisional, khususnya yang menjual ayam. Dia terlihat kurang suka karena dia tahu Indonesia termasuk daerah yang rawan flu burung. Setelah itu, dia terlihat sudah meninggalkan Sumbar dan menyeberang ke Kalimantan. Kesan yang ditinggalkannya tentang Sumbar adalah begitu bebasnya ayam berkeliaran sementara Indonesia terkenal dengan wabah flu burungnya.
Di Kalimantan, dia mendarat di Sampit dan berkesempatan untuk berkenalan langsung dengan suku Dayak. Waktu itu sedang ada perayaan adat dan dia disambut seperti layaknya tamu terhormat, bahkan diangkat sebagai anak oleh tetua di kampung itu. Tapi kemudian, si host (yang durhaka ini) malah mengangkat thema tentang bagaimana suku Dayak memburu dan membunuh transmigran Madura disana (bertahun-tahun yang lalu). Perjalanannya disana pun mayoritas untuk melihat lokasi-lokasi transmigran Madura dulu yang sudah habis dibakar, dengan pemandu seorang wartawan yang notabene memiliki darah Madura juga. Begitu dia pergi meninggalkan Kalimantan, ucapannya sederhana. ”Aku senang karena orang-orang Dayak ternyata menyukaiku. Tapi ini tidak membuatku lupa, bahwa mereka juga sudah membunuhi orang-orang Madura yang juga mereka sukai pada awalnya.”
Lalu dia terbang ke Sulawesi, tepatnya di Poso. Dari awal dia sudah mengangkat thema tentang kerusuhan antar umat beragama di tempat itu sambil tak lupa menggambarkan banyaknya orang yang sudah tewas karena kerusuhan itu. Dia lalu mewawancarai seorang ibu yang kehilangan 50 orang anggota keluarganya dalam kerusuhan dan menanyakan bagaimana perasaannya tentang kejadian itu. Si ibu menjawab dengan pilu bahwa dia sangat membenci para pelaku pembunuhan itu (tentu saja, tak perlu ditanyakan juga semua orang tahu). Kenapa dia harus mengekspos sisi yang itu ke seluruh dunia yang menonton acaranya? Dia meninggalkan Poso dengan kesan bahwa Poso adalah kota religius yang tega saling membunuh untuk membela agama.
Perjalanannya berakhir di sebuah pulau di antara Sulawesi dan Irian Jaya. Dan lagi-lagi tak ada keindahan disini. Waktu dia tiba, tempat itu sedang dilanda banjir besar. Orang-orang keluar dan memandanginya dari depan rumahnya. Semua berebut menyapa dengan bahasa Inggris yang amburadul (Indonesia ternyata masih gila bule). Di tengah hiruk pikuk banjir itu, masyarakat masih sempat menanyakan dari mana si host ini berasal. Dia menjawab dari Inggris. Orang-orang itu malah bersorak-sorak memujinya sambil berkata bahwa mereka fans berat David Beckham cs. Tahu nggak si bule nyinyir ini bilang apa? ”Nevermind! Nevermind! Just think about the football players and forget about this flood.” Sambil berjalan menjauh. Kesan yang timbul, orang-orang Indonesia ini aneh. Sudah terkena bencana banjir, bukannya bersedih. Malah bersorak-sorak memuja-muja bintang sepak bola negara lain.
Duh. Kenapa acara itu tidak menujukkan keindahan Ngarai Sianok di Bukit Tinggi saja sih, daripada harus repot-repot mendatangi penjual ayam di pasar tradisional?
Ngapain juga dia meminta wartawan yang hampir jadi korban suku Dayak untuk jadi pemandunya dan dan bukannya mengajak seniman daerah setempat untuk menyaksikan lenggang gemulai gadis-gadis Dayak menyajikan tari Kancet Ledo?
Dan kenapa dia harus mewawancarai korban kekerasan di Poso dan bukannya melihat keindahan panorama Danau Poso saja?
Host-nya yang sudah punya gambaran buruk tentang Indonesia, atau pemandunya yang tidak berusaha menujukkan Indonesia yang lebih baik di mata dunia, atau malah memang Indonesianya sendiri yang bermasalah. Karena kata penutup dari host acara itu adalah: ”Negara ini memang tidak putus dirundung masalah. Satu-persatu bencana alam dan masalah sosial datang silih berganti.” Miris
Selamat berakhir pekan, kawan-kawan...
Nama programnya adalah Equator, jadi pada intinya host-nya akan mengujungi setiap kota yang dilalui garis khatulistiwa. Kebetulan saja, waktu itu dia sampai di Indonesia. Tapi kami tidak tahu pasti tahun berapa, karena nggak ada informasi yang lengkap tentang tahun kunjungannya.
Waktu itu dia baru saja turun dari perahu dan mendarat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pemandunya mengajaknya makan sate padang dan dia sepertinya suka. Sampai ketika dia dibawa ke pasar tradisional, khususnya yang menjual ayam. Dia terlihat kurang suka karena dia tahu Indonesia termasuk daerah yang rawan flu burung. Setelah itu, dia terlihat sudah meninggalkan Sumbar dan menyeberang ke Kalimantan. Kesan yang ditinggalkannya tentang Sumbar adalah begitu bebasnya ayam berkeliaran sementara Indonesia terkenal dengan wabah flu burungnya.
Di Kalimantan, dia mendarat di Sampit dan berkesempatan untuk berkenalan langsung dengan suku Dayak. Waktu itu sedang ada perayaan adat dan dia disambut seperti layaknya tamu terhormat, bahkan diangkat sebagai anak oleh tetua di kampung itu. Tapi kemudian, si host (yang durhaka ini) malah mengangkat thema tentang bagaimana suku Dayak memburu dan membunuh transmigran Madura disana (bertahun-tahun yang lalu). Perjalanannya disana pun mayoritas untuk melihat lokasi-lokasi transmigran Madura dulu yang sudah habis dibakar, dengan pemandu seorang wartawan yang notabene memiliki darah Madura juga. Begitu dia pergi meninggalkan Kalimantan, ucapannya sederhana. ”Aku senang karena orang-orang Dayak ternyata menyukaiku. Tapi ini tidak membuatku lupa, bahwa mereka juga sudah membunuhi orang-orang Madura yang juga mereka sukai pada awalnya.”
Lalu dia terbang ke Sulawesi, tepatnya di Poso. Dari awal dia sudah mengangkat thema tentang kerusuhan antar umat beragama di tempat itu sambil tak lupa menggambarkan banyaknya orang yang sudah tewas karena kerusuhan itu. Dia lalu mewawancarai seorang ibu yang kehilangan 50 orang anggota keluarganya dalam kerusuhan dan menanyakan bagaimana perasaannya tentang kejadian itu. Si ibu menjawab dengan pilu bahwa dia sangat membenci para pelaku pembunuhan itu (tentu saja, tak perlu ditanyakan juga semua orang tahu). Kenapa dia harus mengekspos sisi yang itu ke seluruh dunia yang menonton acaranya? Dia meninggalkan Poso dengan kesan bahwa Poso adalah kota religius yang tega saling membunuh untuk membela agama.
Perjalanannya berakhir di sebuah pulau di antara Sulawesi dan Irian Jaya. Dan lagi-lagi tak ada keindahan disini. Waktu dia tiba, tempat itu sedang dilanda banjir besar. Orang-orang keluar dan memandanginya dari depan rumahnya. Semua berebut menyapa dengan bahasa Inggris yang amburadul (Indonesia ternyata masih gila bule). Di tengah hiruk pikuk banjir itu, masyarakat masih sempat menanyakan dari mana si host ini berasal. Dia menjawab dari Inggris. Orang-orang itu malah bersorak-sorak memujinya sambil berkata bahwa mereka fans berat David Beckham cs. Tahu nggak si bule nyinyir ini bilang apa? ”Nevermind! Nevermind! Just think about the football players and forget about this flood.” Sambil berjalan menjauh. Kesan yang timbul, orang-orang Indonesia ini aneh. Sudah terkena bencana banjir, bukannya bersedih. Malah bersorak-sorak memuja-muja bintang sepak bola negara lain.
Duh. Kenapa acara itu tidak menujukkan keindahan Ngarai Sianok di Bukit Tinggi saja sih, daripada harus repot-repot mendatangi penjual ayam di pasar tradisional?
Ngapain juga dia meminta wartawan yang hampir jadi korban suku Dayak untuk jadi pemandunya dan dan bukannya mengajak seniman daerah setempat untuk menyaksikan lenggang gemulai gadis-gadis Dayak menyajikan tari Kancet Ledo?
Dan kenapa dia harus mewawancarai korban kekerasan di Poso dan bukannya melihat keindahan panorama Danau Poso saja?
Entahlah.
Host-nya yang sudah punya gambaran buruk tentang Indonesia, atau pemandunya yang tidak berusaha menujukkan Indonesia yang lebih baik di mata dunia, atau malah memang Indonesianya sendiri yang bermasalah. Karena kata penutup dari host acara itu adalah: ”Negara ini memang tidak putus dirundung masalah. Satu-persatu bencana alam dan masalah sosial datang silih berganti.” Miris
Selamat berakhir pekan, kawan-kawan...
Negeriku memang indah. Sangat menyenangkan rasanya membaca tulisan mbak Risma di pagi ini sambil menyeruput kopi. Terimakasih artikelnya. Informatif dan menambagh wawasan.
ReplyDeletehai mbak...coment boleh ya...sikit aja..
ReplyDeletekenyataannya begitu mbak, memang pernah terjadi, apa mau dikata...kalau soal keindahan semua orang mungkin sudah bosan, sekarang mungkin lagi musim musimnya ngerok luka lama (berita buruk)...soal kesan yang ditinggalkan host...hmmm...subjektif banged...(cuma menunjukkan host tersebut memang kurang ramah..)
wah sayang banget mba risma ya, malahan sisi buruknya yg diangkat.
ReplyDeleteWah udah senin nih, aku telat berkunjungnya hehe
Hmmm..saya nyanyi dulu ya pariban sambil main gitar, "Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi Nan Jaya..." Ahh...Tiada kata seindah lagu ini, tetapi kog banyak sih yang gak nyadarin?
ReplyDeleteAcara yg itu ya. Pernah liat jg waktu dia k negara dilewati khatulistiwa di afrika. Sm jg sih yg diekspos sisi buruknya, mulai kemiskinan smp perang saudara disana. Tp kl dibanding turnya k afrika d Indonesia nuansanya lbh ceria.
ReplyDelete