Hari Minggu kemarin, sewaktu kami sedang berhenti di perempatan lampu merah, aku melihat sebuah baliho besar yang mengiklan-kan acara final pembuatan film anak-anak. Bukan acaranya yang menarik perhatianku, tapi slogan dari acara itu yang dicetak tebal dan dituliskan di bagian yang paling mencolok.
Kalimat sederhana tapi penuh makna.
Begitu selesai membaca kalimat itu, mata akan langsung beralih ke segerombolan anak jalanan yang berkumpul di bawah lampu merah dekat baliho itu berdiri.
Ada yang jadi pengamen dengan alat musik seadanya di jendela-jendala mobil. Ada juga yang jadi pengemis sambil menggendong adiknya yang masih balita di punggungnya, lalu berlarian kesana-kemari. Ada juga seorang anak laki-laki yang membawa kemoceng lusuh kesana-kemari dan menawarkan jasa mengelap debu instan sambil menunggu lampu kembali hijau. Biasanya usahanya itu dibalas dengan klakson dari pemilik mobil yang menyuruhnya berhenti mengelap mobilnya. Inikah wajah dunia anak Indonesia?
Kalimat sederhana tapi penuh makna.
Begitu selesai membaca kalimat itu, mata akan langsung beralih ke segerombolan anak jalanan yang berkumpul di bawah lampu merah dekat baliho itu berdiri.
Ada yang jadi pengamen dengan alat musik seadanya di jendela-jendala mobil. Ada juga yang jadi pengemis sambil menggendong adiknya yang masih balita di punggungnya, lalu berlarian kesana-kemari. Ada juga seorang anak laki-laki yang membawa kemoceng lusuh kesana-kemari dan menawarkan jasa mengelap debu instan sambil menunggu lampu kembali hijau. Biasanya usahanya itu dibalas dengan klakson dari pemilik mobil yang menyuruhnya berhenti mengelap mobilnya. Inikah wajah dunia anak Indonesia?
Anak-anak Indonesia kebanyakan sudah mulai bekerja mencari uang sejak usia yang sangat dini. Mereka bahkan mengerjakan pekerjaan yang orang dewasa saja menolak untuk mengerjakannya. Tapi, kenapa ada orang yang mau mempekerjakan tenaga anak-anak yang masih kecil seperti itu? Jawabannya singkat. Karena anak-anak bisa dibayar dengan upah rendah dan selalu bisa diintimidasi oleh majikannya. Itu untuk anak-anak yang bekerja di tempat-tempat menyedihkan, seperti menjadi pemulung, pengemis bahkan anak-anak yang menjadi kuli di tambang-tambang. Mereka bekerja karena terhimpit masalah ekonomi. Mereka mungkin bahkan tidak berani memikirkan kemungkinan untuk bersekolah.
Apakah himpitan ekonomi adalah satu-satunya alasan anak memasuki dunia kerja terlalu dini? Tidak. Karena ternyata anak-anak yang memiliki orang tua yang mampu secara finansial pun tetap tercebur juga. Contohnya sudah sering kita lihat, seperti anak-anak yang menjadi artis di televisi. Seperti: Marshanda, Tina Toon, Baim ataupun
Alanis si keriting lucu yang dulu membintangi sinetron Doo Bee Doo. Mungkin, karena kita melihat mereka selalu tampil manis dan ceria di depan tv, kita jadi lupa kalau mereka hampir tidak memiliki waktu untuk bermain karena harus melewatkan hari di lokasi syuting sinetron kejar tayang.
Orang tua dari beberapa artis-artis cilik ini bahkan mengaku dengan terus terang, kalau anak mereka kadang suka rewel di lokasi. Sehingga harus mencari cara untuk bisa membantu anak-anak mereka kembali memperhatikan proses syuting. Anak-anak itu bahkan makan, tidur dan mandi di lokasi. Alanis pemeran Doo Bee Doo dulu bahkan sudah mulai syuting sejak dia belum bisa berbicara. Tugasnya cuma tampil bengong di depan kamera dan memancing rasa gemas penonton. Dia adalah salah satu artis cilik yang mengucapkan kata-kata pertamanya di hadapan kru sinetron dan bukannya di rumah bersama orang tuanya.
Inilah dunia anak Indonesia. Anak yang bekerja adalah hal lumrah disini. Orangtua beranggapan kalau hal itu wajar, mengingat anak memang harus bekerja membantu orangtuanya yang tidak mampu. Anak menganggap bekerja pada usia dini itu kerena, apalagi kalau menjadi artis. Kan orang tuanya masih kebagian jatah menjadi menejer dan bisa mengatur arus keuangan yang dicari dari peluh anaknya yang masih balita.
Mungkin saja inilah yang menjadi latar belakang dari pembuat slogan di atas.
”Dunia anak bukan bekerja. Dunia anak dunia belajar, bermain dan berkreasi!”
Apakah himpitan ekonomi adalah satu-satunya alasan anak memasuki dunia kerja terlalu dini? Tidak. Karena ternyata anak-anak yang memiliki orang tua yang mampu secara finansial pun tetap tercebur juga. Contohnya sudah sering kita lihat, seperti anak-anak yang menjadi artis di televisi. Seperti: Marshanda, Tina Toon, Baim ataupun
Alanis si keriting lucu yang dulu membintangi sinetron Doo Bee Doo. Mungkin, karena kita melihat mereka selalu tampil manis dan ceria di depan tv, kita jadi lupa kalau mereka hampir tidak memiliki waktu untuk bermain karena harus melewatkan hari di lokasi syuting sinetron kejar tayang.
Orang tua dari beberapa artis-artis cilik ini bahkan mengaku dengan terus terang, kalau anak mereka kadang suka rewel di lokasi. Sehingga harus mencari cara untuk bisa membantu anak-anak mereka kembali memperhatikan proses syuting. Anak-anak itu bahkan makan, tidur dan mandi di lokasi. Alanis pemeran Doo Bee Doo dulu bahkan sudah mulai syuting sejak dia belum bisa berbicara. Tugasnya cuma tampil bengong di depan kamera dan memancing rasa gemas penonton. Dia adalah salah satu artis cilik yang mengucapkan kata-kata pertamanya di hadapan kru sinetron dan bukannya di rumah bersama orang tuanya.
Inilah dunia anak Indonesia. Anak yang bekerja adalah hal lumrah disini. Orangtua beranggapan kalau hal itu wajar, mengingat anak memang harus bekerja membantu orangtuanya yang tidak mampu. Anak menganggap bekerja pada usia dini itu kerena, apalagi kalau menjadi artis. Kan orang tuanya masih kebagian jatah menjadi menejer dan bisa mengatur arus keuangan yang dicari dari peluh anaknya yang masih balita.
Mungkin saja inilah yang menjadi latar belakang dari pembuat slogan di atas.
”Dunia anak bukan bekerja. Dunia anak dunia belajar, bermain dan berkreasi!”
Kadang-kadang memang sebuah keluarga harus dihadapkan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, akhirnya mereka mencari jalan dengan mengajak seluruh anggota kel. untuk bekerja..bekerja dan bekerja demi sesuap nasi dari anak2 hingga yang dewasa. Ahh..kadang2 menyakitkan memang. Entahlah..siapa yang salah nih Iban.Our goverment-kah? masyarakatkah?
ReplyDeleteSaya pribadi juga tertarik dengan masalah spt ini, betul kalau mbak bilang kasus anak pekerja tidak hanya terjadi pada kasus keluarga miskin, terbukti yang dalam kategori mapan pun cenderung melakukan nya, entah apa maksut org tua tersebut Eksploitasi atau sekedar menyalurkan bakat anak mereka seperti yang sering mereka ucapkan, namun sadar apa tidak kalau waktu kreatif dan belajar mereka sudah terbuang oleh kerja yg belum saatnya tersebut, kadang mereka belajar di tempat syuting dan bermain dengan orang yg lebih besar umurnya diatas anak anak tsb, tentu aja hal kek gitu bisa berpengaruh pada mental dan psikologis anak tsb. saya sangat setuju kalau usia anak adalah usia bermain, belajar dan berkreasi! usia anak anak begitu indah untuk dilewati dengan berkerja yang sepatutnya jadi beban wajib ortu masing2! sebaiknya pemerintah juga ikut turun tangan langsung mengatur hal ini, walaupun tanggung jawab anak ada pada ortu, tapi jangan sampai bangsa kita ini kelak tidak memiliki tunas bangsa yang berkualitas.saya teringat lagu " sweet child o mine" sebuah lagu yg dinyanyikan orang tua yg berumur untuk mengenang masa kecilnya..dan semoga mereka2 kelak saat besar tidak menyanyikan lagu itu dengan penuh sesal..sekian komen saya yg kepanjangan ini, mohon maaf.
ReplyDeletetersentuh juga membaca tulisan ini, kasihan anak yang sekecil itu sudah kerja. manakala pemerintah sedang gawat memikirkan kadar pengangguran orang dewasa yang sulit dibendung, ini yang saya lihat sangat mengelirukan. tapi ini terjadi dibanyak negara serantau.
ReplyDeletesemoga saja ada pihak yang bisa melihat dengan hati.
terima kasih Risma. tak lama lagi Natal ya, pasti sibuk dengan persiapannya.
karena anak" lucu gampang bikin orang lain terenyuh, mungkin itu alasan orang tua memperkerjakan mereka
ReplyDeletemiris ya melihat anak jaman skr harus bekerja krn tuntutan ekonomi maupun yang bukan
ReplyDeleteiya miris banget ya sama anak2 yg di'pake' sama orang tuanya buat cari nafkah. kasian.
ReplyDeleteaku kadang kalo pas berhenti di traffic light..liat anak2 yg berlarian deketin mobil2 yang berhenti..kasian banget liat mereka..sampe aku terbengong2..sambil bayangin dan bertanya dalam hati..kemana yah orang tua mereka...
ReplyDeletekasian anak anak seperti itu,, saya ngenes kalau ngeliatnya dan ngebayangin seandainya anak saya ampe seperti itu.. nangis rasanya hati ini. kenapa ya masih selalu aja ada orang yang mempekerjakan dan memeras mereka
ReplyDeletesungguh terbalik ya? kok anak yang kerja sedang yang tua nyari kerja.
ReplyDeleteinilah fenomena anak anak indonesia.
Di Bogor juga banyak banget anak jalanan Risma, kalau saya ada uang lebih, biasanya saya beli susu kotak agak banyak dan dibagikan ke mereka... Saya tidak mau memberi mereka uang, terutama buat anak2 kecil yang jadi pengemis, karena mereka kebanyakannya didrop setiap pagi dan harus setor ke 'bapak asuhnya'.
ReplyDeleteSelebritis anak adalah fenomena akhir2 ini, mudah2an setiap orangtua yang beruntung memiliki anak berbakat, bisa lebih bijaksana lagi...
di satu sisi kasihan tapi di sisi lain mereka yang mengemis hanyalah korban dari orang2 yang ga bertanggung jawab......satu lagi untuk menggaris bawahi "baim" memang dia adalah salah satu anak yang beruntung...tapi terkadang keajaiban di ciptakan oleh tangan seorang anak jalanan....contohnya.... IWAN FALS (bener ga?)
ReplyDeleteSalut ma mbak Risma, bisa ngurus banyak blog & bagus2...
ReplyDeleteSippp....
tak semua anak mempunyai nasib yg sama.
ReplyDeletealasan faktor ekonomi jg tidak dapat menjadi tameng tuk pembenaran ekploitasi anak.
gw inget waktu SD gw sekolah sambil bawa es lilin buatan ibu tuk dititip dikantin sekolah.