Saturday, September 5, 2009

Cara Tepat Membantu Pengemis

Permasalahan umum yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia bisa dikatakan hampir sama. Kriminalitas, kebersihan dan gepeng (gelandangan dan pengemis). Khusus untuk yang terakhir ini, pemerintah sepertinya sudah kehabisan ide untuk menanganinya. Sampai-sampai ada daerah yang mengharamkam pengguna jalan memberi sumbangan kepada pengemis yang meminta-minta di pinggir jalan.

Medan juga punya permasalahan yang sama. Hampir di setiap persimpangan lampu merah, selalu ada pengemis dan pengamen jalanan. Kadang, aku sering kasihan melihat mereka.

Apalagi kalau ada anak-anak yang masih berumur 7-8 tahun, dengan pakaian kumal dan gitar kecil yang sudah hancur, bernyanyi seadanya di jendela mobil. Tapi rasa iba itu akan langsung hilang, begitu melihat dia bergabung dengan teman-temannya sesama pengamen, menghirup uap lem Goat di dalam sebuah plastik. Narkoba murahan. Kalau ternyata uang hasil ngamennya itu dipakai untuk fly, lebih baik tidak usah dikasih sedekah.

Kadang-kadang, ada juga pengemis ibu-ibu setengah baya yang sepertinya sedang menggendong bayinya dalam kain gendongan di dadanya, di tengah terik matahari. Sebenarnya, tujuan dia membawa anaknya itu juga perlu dipertanyakan kembali. Masak’ iya seorang ibu tega membawa anaknya yang masih bayi berjemur di tengah matahari siang.

Semiskin-miskinnya dia, pasti ada naluri untuk menjaga anaknya agar tidak sakit. Kalaupun harus mengemis, dia akan mencari tempat yang tidak terlalu ”menyiksa” anaknya. Jangan-jangan, anak itu dibawa hanya agar orang merasa kasihan dan memberi sedekah kepadanya. Dan ada yang lebih mengagetkan lagi. Ketika si ibu ini mendekat ke kaca mobil, maka kita akan bisa melihat kalau sebenarnya dia sedang menipu. Yang di gendongannya itu hanyalah buntalan-buntalan kain yang dibentuk-bentuknya sedemikian rupa. Sehingga terlihat seperti tubuh bayi yang sedang tertidur, dari kejauhan. Gila nggak?

Pengemis satu lagi adalah bapak-bapak yang juga berusia setengah baya. Yang ini, biasanya nongkrong di perempatan lampu merah pertama setelah keluar dari kompleks rumah kami. Badannya subur, penampilannya bersih dan wajahnya penuh senyum. Sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang susah. Dari kejauhan dia sudah menyapa para pengemudi mobil dari tempat duduknya di tengah jalan. Sepertinya dia tidak bisa berjalan karena kakinya terlipat dan dikerubuni lalat. Tapi ternyata, ketika kami lewat dari sana sore hari menjelang magrib, dia dengan tenangnya jalan lenggang kangkung, tak kekurangan suatu apapun. Pakaian mengemisnya sudah terlipat di dalam bungkus plastik, dan dia berjalan pulang dengan pakaian bersih. Lho..lho..lho..

Untuk pengemis-pengemis yang seperti ini, memang layak terimbas perda seperti di Jakarta. Jangan dikasih sedekah. Mereka itu pengemis-pengemis malas yang memanfaatkan rasa iba orang lain. Sementara sebenarnya fisiknya masih kuat dan dia masih bisa mencari pekerjaan, tapi dia memilih untuk meminta-minta saja. Begitu juga anak-anak kecil yang mengemis agar bisa membeli ”lem Goat” untuk jadi narkoba. Atau ibu-ibu berbadan sehat yang menggendong buntalan kain kemana-mana, agar orang merasa kasihan dan memberi sedekah.

Hanya saja, rasa kasihan tetap akan muncul kalau melihat seorang bapak tua yang benar-benar lumpuh (karena kakinya memang buntung) tapi dengan semangat mendatangi mobil yang sedang berhenti di lampu merah, untuk meminta sedekah. Dia tidak duduk bermalas-malasan seperti pengemis yang pura-pura buntung. Tapi dia tetap berjalan dengan susah payah mendatangi mobil-mobil. Kalau yang seperti ini, kadang suka nggak tega. Dan akhirnya kami berikan lembaran uang yang tidak seberapa. Tapi dia sudah menyambutnya dengan gembira dan berulang-ulang mengatakan terimakasih. Kalau di Jakarta, mungkin kami sudah kena denda ya.

Mungkin sebaiknya kita memang menyalurkan bantuan untuk kawan-kawan kita yang kurang beruntung ini lewat lembaga resmi ya. Misalnya lewat badan zakat untuk yang muslim, atau yayasan milik gereja untuk kami yang kristen. Mudah-mudahan, lembaga-lembaga ini bisa menyalurkan sumbangan untuk orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Yang pasti bukan untuk pengemis penipu, atau pengemis yang hobi nyabu..

14 comments:

  1. Sedekah juga ada investasinya. Daripada memberikan uang, lebih baik memberikan pendidikan dan pelatihan. Kadang-kadang yang diperlukan itu bukan uang, tapi pendidikan mengenai cara mengelola uang.

    ReplyDelete
  2. pengemis ...adalah tanggung jawab kita semua sebagai manusia.. toh kita diajarkan untuk selalu memberi lebih baik dari menerima,....dan untuk itulah mari kita lebih membuka mata buat sodara laen yang kurang mampu ato kurang beruntung...rangkul mereka dan jangan habisi mereka...

    ReplyDelete
  3. wah bacaan yang menarik .. bener juga kalo dipikir2,aku suka tulisannmu baca postinganmu ..

    ReplyDelete
  4. Kadang memang menjadi dilema bagi kita. Dibantu salah tidak dibantu kasihan. Kalau memang kita mau disiplin ... salurkan bantuan melalui LSM yang telah ditunjuk atau badan pengurus lainnya. Agar bisa lebih tertib.
    Btw, ada award untukmu sobat .... dijemput ya.
    Salam

    ReplyDelete
  5. @Vicki: benar, Vic. Itu sudah terhitung sumbangan yang besar, dengan memberikan pelatihan. Untuk mereka yang ingin menyumbangkan sejumlah kecil uang, sebaiknya disalurkan melalui lembaga yang berwenang.

    @Okta: membantu mereka dengan cara yang benar, Okta :) Ajari mereka hidup mandiri. Karena tidak mungkin untuk selamanya hidup dari pekerjaan mengemis.

    @Siska: Terimakasih, Sis. Aku senang kalau ada yang suka :D

    @Rahel: yang pasti mereka harus dibantu, mbak. Hanya saja kita harus mencari cara yang tepat untuk membantunya ^_^

    Terimakasih untuk komentar-komentarnya, sob.

    ReplyDelete
  6. Memang sangat dilematis ya. Tapi itulah realita di depan mata. Sinergitas dan gerakan simultan saja sepertinya tidak cocok lagi untuk memperbaiki keadaan ini. Akhlak bangsa ini mungkin telah berada pada titik paling nadir. Permasalahan pengemis di semua tempat di tanah air kayaknya juga sama.

    ReplyDelete
  7. salam Risma, fenomena ini terjadi dimana saja dan seperti ada kesukaran untuk membantu mereka secara konsisten. barangkali pihak berwajib harus juga melihat agar dana tersedia dapat disalurkan pada mereka ini.
    nampaknya sahabatku ini sangat prihatin ya, sering saja posting hal yang menganjur kebaikan. MAY GOD BLESS YOU MY FRIEND...

    terima kasih.

    ReplyDelete
  8. bener mbak..tapi harus bisa memilah-milah juga. soalnya jaman sekarang kan banyak banget yang sengaja "sembunyi" dibalik kedok peminta-minta itu.

    ReplyDelete
  9. @Ivan: pengemis yang semakin banyak sepertinya bisa menjadi indikasi kalau negara itu adalah negara miskin, atau jatuh miskin, atau sedang mulai miskin. Tak ada satupun yang menjadi pilihan yang menarik. Jadi teringat lagu Koes Plus: "Orang bilang tanah kita tanah surga.."

    @B'Alan: Terimakasih doanya, bang :)

    @Henny: Iya, Hen. Banyak pengemis sekarang yang pura-pura cacat, padahal hanya malas bekerja. Ada juga yang menggunakan hasil mengemisnya untuk hal-hal buruk, seperti nyabu :(

    ReplyDelete
  10. bagus nih mbak topiknya,,,,,, seneng deh baca2 tulisannya mbak risma...

    ReplyDelete
  11. ck..ck..ahh it's hard to say nih pariban..yang pasti postingannya ini bener2 membuat saya bercampur aduk antara emosi dan logika...

    ReplyDelete
  12. hmmm,aku jadi inget nih..kemaren ada yang ada nenek minta sama kk ku
    1300,,trus pas dikasih 1500,,dia bilang lagi
    mas minta 2300,,jadi naik mintanya..
    kadang2 orang ngemis aneh2...tapi keseluruhan sih nice post mbak..kata2nya ok bgt >,<

    ReplyDelete
  13. @Munda: Makasih ya, Mun :)

    @B'Piter: memang ada sedikit tujuan ke arah situ, bang :)

    @Gavin: pengemis sekarang makin pintar ya, Vin

    ReplyDelete
  14. Kompleks, ruwet sekali, masalah ini. Dan sejak dulu pemerintah dan kita semualah belum bisa mengatasi akar masalah ini. Pengemis itu dimensinya luas. Harus dilihat dari kacamata yang dalam. Saya sudah beberapa kali membuat tulisan tentang pengemis terorganisasi di Surabaya, Sidoarjo, dan sekitarnya. Tapi apakah kita berhenti memberi sumbangan, yang tidak banyak itu, hanya karena ada kasus seperti ini? Bahkan, pakai perda segala?

    "Beri kail, bukan ikan. Ikan dimakan habis, kail bisa dipakai mancing ikan." Bayangkan kita kelaparan, tak punya apa-apa, uang gak ada. Saat itu orang hanya butuh makan. Yang mendesak, ya, ikan. Ikan dan kail sama-sama penting. Ikan dulu, setelah itu usahakan kailnya.

    Saya sangat sering, bahkan sampai sekarang, ikut ibu-ibu atau aktivis sosial baksos. Bagi-bagi bahan makanan, pakaian bekas pakai, sedikit uang. Jelas ikan! Ibu-ibu, yang umumnya pengusaha Tionghoa itu, tahu bahwa kemiskinan tidak lantas hilang dengan baksos. Tapi apakah lantas orang disuruh berhenti memberikan sedikit sedekah kepada si miskin?

    Di Surabaya ada Pak Narain, pengusaha keturunan India, almarhum. Baca: http://hurek.blogspot.com/2007/06/selamat-jalan-pak-narain.html

    Selama 30 tahun beliau bikin acara baksos di rumahnya tiap Kamis pagi. Ratusan orang miskin, pengemis, gelandangan, berkumpul, lalu diberi beberapa keping biskuit, minum susu, beras, dan sebagainya. Ini jadi ritual rutin. Apakah Pak Narain tidak tahu "ikan" dan "kail" itu? Jelas sangat tahu. Dia intelektual, agamawan, punya toko buku besar, jaringan internasional.

    Pak Narian berkata:

    I’ve been told that many people sell the food you give them, that the beggars are organised by preman (street thugs) and are able-bodied, but don’t want to work.

    Look at them! How many could find work? They’re dressed in rags, they live under bridges. Who will employ them? Their consciences have been killed by poverty.

    I know some sell what we give. That’s their right.

    As Jesus said – the poor are always with us. These people are born beggars of beggar parents. It’s their karma. You can change it only through prayer and good deeds.

    ReplyDelete

Visit my other blogs:
Mommy Mayonnaise
Mirror On The Wall
Cerita Film

Spamming and insulting comments are not allowed and will be deleted for sure. Thanks for sharing your opinions.

Shelfari: Book reviews on your book blog
Blog Widget by LinkWithin
 

~Serendipity~ | Simply Fabulous Blogger Templates | Mommy Mayonnaise | Female Stuff