Kasihan melihat ibu-ibu berbaju kumal pemilik warung makan yang sangat-sangat sederhana itu menangis, ketika satpol PP mengangkut semua dagangannya siang itu. Baskom-baskom kecil berisi sayur dan ikan hasil masakannya tadi pagi satu-persatu diangkut keluar dan dibawa pergi entah kemana oleh pria-pria berseragam itu. Ibu yang rambutnya awut-awutan dan wajah bermandikan keringat itu memohon-mohon agar dagangannya tidak diangkut, karena dia masih belum menjual apapun sepanjang hari itu. Sementara ia sudah keluar uang untuk modal memasak jualannya itu. Tapi para satpol PP tidak perduli dan tetap saja mengangkut semua yang terlihat oleh mata. Terus terang, aku sangat kasihan melihatnya.
Kejadian ini kulihat di sebuah acara berita kemarin siang. Ibu-ibu berpakaian sederhana itu tinggal di Padang, Sumatera Barat. Ia adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mencari nafkah dengan berjualan nasi warteg, yang terkena razia. Ditunjukkan juga kalau ada pedagang yang kebetulan sedang membakar ikan atau ayam, itu juga langsung diangkut lengkap dengan kawat pembakarnya. Bahkan minuman yang sedang diminum oleh seorang pembeli sekalipun, diambil dan dibawa juga. Rasanya kok berlebihan sekali ya?
Aku memang bukan seorang muslim, sehingga tidak berpuasa. Tapi aku bisa melihat, kawan-kawan muslim sangat menantikan kedatangan bulan ini dan dengan penuh semangat menjalankan kewajiban iman ini. Di Medan pun orang-orang sangat bergembira menyambut Ramadhan. Bukan hanya yang muslim, yang non muslim juga. Karena bulan puasa biasanya membawa kemeriahan tersendiri, seperti Ramadhan Fair. Bahkan di bulan ini sangat gampang menemukan pedagang-pedagang kecil yang menjual aneka penganan untuk berbuka. Dan ini hanya ada di bulan puasa saja. Tapi disini tidak ada satpol PP yang”menggusur” para pedagang kecil dengan alasan sedang bulan puasa. Tidak ada ibu-ibu yang menangis karena hilanglah kesempatan untuknya mencari nafkah karena dagangannya diangkut begitu saja, tanpa ganti rugi.
Apakah karena bulan puasa, para pedagang warteg itu pun harus ikut ”berpuasa berdagang” dan kehilangan mata pencaharian? Apakah karena bulan puasa, mereka harus menganggur dulu, menunggu sampai bulan ini berlalu? Apakah karena bulan puasa, para satpol PP bisa mengangkut dagangan mereka begitu saja, tanpa ganti rugi? Padahal mereka sudah mengeluarkan uang dari persediaan modal mereka yang tidak banyak itu untuk berjualan.
Bagaimana dengan nasib orang-orang yang bergantung dari hasil penjualan makanan warteg itu? Kalau misalnya si ibu tadi punya enam orang anak yang harus diberi makan atau seorang ibu/ibu mertua yang sudah berusia sangat lanjut dan sudah tidak bisa bekerja lagi. Apakah mereka juga harus berhenti makan, karena sedang bulan puasa? Kalau begitu, dimana letak rasa toleransi yang selama ini digembar-gemborkan?
Sebaiknya semua pihak harus saling bertoleransi dalam hal ini. Yang berpuasa, jangan hanya mengharapkan mendapat toleransi dari yang tidak berpuasa saja, tapi juga harus bertoleransi dengan yang tidak berpuasa. Itulah indahnya hidup dalam keanekaragaman, bukan?
Kalau di Medan, tidak ada ketentuan yang mengharuskan restoran atau rumah makan tutup di siang hari hanya karena sedan bulan puasa. Kalaupun ada rumah makan yang tutup, itu karena penjualnya sendiri yang berinisiatif, bukan karena dipaksa. Dan rumah makan yang memilih untuk tetap buka, membuat penutup seperti tirai di pintu atau dindingnya yang terbuka, untuk menghalangi pandangan dari luar. Ini baru toleransi.
Rumah makan bertoleransi dengan yang berpuasa dengan tidak memajang makanan jualannya secara terbuka di siang hari. Dan yang berpuasa tetap bertoleransi dengan pemilik rumah makan yang sedang mencari nafkah dengan tetap berjualan untuk memenuhi kebutuhan mereka-mereka yang tidak berpuasa. Aku bersyukur, Medan-ku termasuk salah satu kota yang ”merdeka” dan memiliki tingkat saling pengertian dan toleransi yang tinggi. Dimana semua pihak bisa sama-sama menjalani kehidupannya tanpa harus mengganggu orang lain.
Mudah-mudahan tidak ada ibu-ibu penjual warteg di sini yang harus menangis karena harus kehilangan dagangannya. Dan mudah-mudahan bulan puasa ini bermakna dan semakin meningkatkan kualitas keimanan bagi kawan-kawan yang sedang menjalankannya tanpa terganggu.
Aku memang bukan seorang muslim, sehingga tidak berpuasa. Tapi aku bisa melihat, kawan-kawan muslim sangat menantikan kedatangan bulan ini dan dengan penuh semangat menjalankan kewajiban iman ini. Di Medan pun orang-orang sangat bergembira menyambut Ramadhan. Bukan hanya yang muslim, yang non muslim juga. Karena bulan puasa biasanya membawa kemeriahan tersendiri, seperti Ramadhan Fair. Bahkan di bulan ini sangat gampang menemukan pedagang-pedagang kecil yang menjual aneka penganan untuk berbuka. Dan ini hanya ada di bulan puasa saja. Tapi disini tidak ada satpol PP yang
Apakah karena bulan puasa, para pedagang warteg itu pun harus ikut ”berpuasa berdagang” dan kehilangan mata pencaharian? Apakah karena bulan puasa, mereka harus menganggur dulu, menunggu sampai bulan ini berlalu? Apakah karena bulan puasa, para satpol PP bisa mengangkut dagangan mereka begitu saja, tanpa ganti rugi? Padahal mereka sudah mengeluarkan uang dari persediaan modal mereka yang tidak banyak itu untuk berjualan.
Bagaimana dengan nasib orang-orang yang bergantung dari hasil penjualan makanan warteg itu? Kalau misalnya si ibu tadi punya enam orang anak yang harus diberi makan atau seorang ibu/ibu mertua yang sudah berusia sangat lanjut dan sudah tidak bisa bekerja lagi. Apakah mereka juga harus berhenti makan, karena sedang bulan puasa? Kalau begitu, dimana letak rasa toleransi yang selama ini digembar-gemborkan?
Sebaiknya semua pihak harus saling bertoleransi dalam hal ini. Yang berpuasa, jangan hanya mengharapkan mendapat toleransi dari yang tidak berpuasa saja, tapi juga harus bertoleransi dengan yang tidak berpuasa. Itulah indahnya hidup dalam keanekaragaman, bukan?
Kalau di Medan, tidak ada ketentuan yang mengharuskan restoran atau rumah makan tutup di siang hari hanya karena sedan bulan puasa. Kalaupun ada rumah makan yang tutup, itu karena penjualnya sendiri yang berinisiatif, bukan karena dipaksa. Dan rumah makan yang memilih untuk tetap buka, membuat penutup seperti tirai di pintu atau dindingnya yang terbuka, untuk menghalangi pandangan dari luar. Ini baru toleransi.
Rumah makan bertoleransi dengan yang berpuasa dengan tidak memajang makanan jualannya secara terbuka di siang hari. Dan yang berpuasa tetap bertoleransi dengan pemilik rumah makan yang sedang mencari nafkah dengan tetap berjualan untuk memenuhi kebutuhan mereka-mereka yang tidak berpuasa. Aku bersyukur, Medan-ku termasuk salah satu kota yang ”merdeka” dan memiliki tingkat saling pengertian dan toleransi yang tinggi. Dimana semua pihak bisa sama-sama menjalani kehidupannya tanpa harus mengganggu orang lain.
Mudah-mudahan tidak ada ibu-ibu penjual warteg di sini yang harus menangis karena harus kehilangan dagangannya. Dan mudah-mudahan bulan puasa ini bermakna dan semakin meningkatkan kualitas keimanan bagi kawan-kawan yang sedang menjalankannya tanpa terganggu.
kadang2 dilema juga sih Mbak..di satu sisi2 para petugas menjalankan tugasnya..tapi disatu sisi lagi dia juga harus kesampingkan rasa kemanusiaannya..yaitu karena sdang menjalankan tugasnya..tapi jika dipikirkan kembali kadang para pedagangnya juga yang salah..yach..seperti dijakarta juga sih..?
ReplyDeletemudah2an aku yang pertamax..>,<
ReplyDeleteiya nih..klo lagi bulan puasa gini..satpol pp harus ada toleransi dunks..
btw klo di tmpt aku..malahan sengaja di kasih tmpt..
jadi sepanjang jalanan prj,,kan besar..
disamping2 nya dikasih buat jualan kaki lima..baju dkk..
malah ada spanduk pula..
mungkin ini usaha pemerintah juga supaya ga bergerombol dimana mana ;)
salam,
ReplyDeletesedih juga membayangkannya, kasihan ya.
kalau itu saja punca nafkah mereka, pasti ini sangat mengesankan menjelang lebaran begini.
Semoga Tuhan merahmati anda semua.
p/s; aku tidak lagi mengajar di kolej, sekarang sebagai Community Consultant for Indonesia Corridor.
i love Indonesia.
emang ini nih masalahnya....kenapa rakyat kecil nggak pernah diberi kebebasan untuk berusaha...
ReplyDeletedengan alasan penertiban ..keindahan , dan kebersihanlah....banyak lah...
dan biasanya para penggusur terdiri dari pol pp dan trantib yang notabone juga rakyat kecil.....kok mereka tega....
ternyata mereka kurang terdidik ye...
nggak punya hati....
bodoh....
dan pasti pecundang....
tapi mana sih janji kampanye .....
wajar aja negeri ini sering dapat musibah dan selalu di lecehkan.....
sebab pemimpin sendiri nggak merhatiin rakyatnya...apalagi orang asing.....ye...
Aku kasihan sama petugas yang menjalankan tugas itu. Dia kan harus nurut sama atasannya. Kalo disuruh menggusur ya dia harus menggusur biarpun hatinya tidak mau menggusur. Mudah-mudahan dagangan makanannya si Ibu nggak dimakan sendiri oleh Satpol PP-nya. Memakan rejeki orang tidak akan menghasilan apa-apa kecuali sakit perut.
ReplyDeleteada kasihannya tapi juga ada salahnya..karena mungkin keadaan yang membuat merka jadi begini,satpol pp nya juga menjalankan tugas kalo bicara hati mereka pun pasti ga tega..awal yang sulit menjadikan keadaan tambah rumit.
ReplyDeleteada banyak kejadian kayak gitu di kota-kota besar dengan alasan "mempermanis" tampilan kota. tapi terkadang pemerintah nggak lagi memikirkan nasib orang-orang yang digusur. turut prihatin mbak
ReplyDeletehmm kshan rakyat kecill..yang besar makin bsr aj dah :(
ReplyDeleteDilematis juga sih, sulit untuk menetukan siapa yg paling salah. Pedagang cuma mencari nafkah saja, tapi caranya saja yg krg tepat, tapi tidak elok juga kalau razia seperti ini selalu memakai dg kekerasan.
ReplyDeleteSungguh ironis dengan gaya hidup selebritis Indonesia.
ReplyDeleteWah dah kangen aku ngunjungi Blog kakak ku yang satu ini...
ReplyDeleteKebetulan tertarik aku dengan artikel ini. Sama seperti tanggapan @Anak Betawi, memang dilema sih kak. Secara hukumnya kita lihat bahwa para pedagang itu melanggar peraturan yang ada yaitu perda tentang di beberapa tempat yang melarang orang berjualan selama bulan ramadhan pada siang hari. Saya tidak menyalahkan petugas yang menertibkan pedagang, selama tidak bertindak diluar batas wewenang dan kewajaran. Seperti yang kakak katakan bahwa kenapa retoran mewah misalnya tidak di tutup, itulah masalah kak. Banyak sekali produk hukum di negara ini yang memiliki bebarapa celah yang menguntung pihak-pihak tertentu. Memang kerjaan kami sih ini orang-orang hukum. Tapi realitasnya kita lihat kecenderungan yang digasak adalah pedagan kecil yaitu melihat dari daya beli masyarakat kita. Kecenderungan warung2 seperti itulah yang ramai pengunjung namun pajak atau retribusi untuk kas daerah tidak ada. yang ada hanya pungutan liar yang masuk ke kantong pribadi oknum tertentu. Inilah dilema yang harus dibenahi pemerintah sesungguhnya. Bagaimana produk hukum itu bisa lebih menyentuh rasa keadilan dari sebagian besar masyarakat kecil. udah parah kali negara kita ini.
Kalau aku bisa bilang MERDEKA!!!!!!!!!!! (BELUM!!!!!!!!)
Memang, untuk urusan gusur-menggusur ini, sulit sekali untuk menetapkan pihak mana yang paling bersalah. Tapi, harus diingat juga, kalau yang digusur itu adalah rakyat Indonesia juga. Jangan selalu main kasar. Aku pernah baca, kalau pedagang kaki lima di Solo, diperlakukan dengan sangat baik oleh pemerintah daerahnya. Kenapa di daerah-daerah lain tidak bisa? Iya kan?
ReplyDeletemenurut saya satpol PP g salah deh .. sbb itu kan bulan suci rhamdhan seharusnya pejual ya taw dunk .. saya juga sedih memabaca tread ini tapi apa di katakan ..?
ReplyDeletekita sebagai umat beragama harus saling menghormatin ...
jadi seharusnya ibu sadar dunk .. klw bisa jgn jualan di siang hari .. sbb itu menggu umat muslim .. klw bisa di tutup dunk agar tidak terlihat yg makan ... klw ibu maw buka jualan Ok Tq dari Satpo PP