Kalau sudah yang namanya hari Libur, pasti semua tempat makan dipenuhi pengunjung. Betul nggak? Mungkin karena yang ibu-ibunya juga jadi pengen libur masak. Atau bisa juga karena ingin menikmati hidangan restoran sekali-sekali. Jadi, tak perlu heran melihat barisan kendaraan bermotor yang berjubel memenuhi halaman restoran, bahkan ada yang sampai memenuhi pinggir jalan raya.
Biasanya yang seperti ini dialami oleh restoran yang sudah terkenal namanya. Terkenal karena enak dan terkenal karena murah. Hehehe.. Karena ”merakyat”, biasanya juga pihak rumah makan tidak memiliki area khusus untuk parkir pengunjung. Berbeda dengan restoran yang bisa dikategorikan restoran mewah, biasanya pasti menyediakan area parkir khusus yang dijaga satpam. Pengujung bahkan tidak perlu membayar uang parkir alias gratis. Hanya saja, biasanya restoran mahal seperti ini tidak terlalu dipadati pengunjung, jadi pengaturan parkirnya juga lebih mudah.
Biasanya yang seperti ini dialami oleh restoran yang sudah terkenal namanya. Terkenal karena enak dan terkenal karena murah. Hehehe.. Karena ”merakyat”, biasanya juga pihak rumah makan tidak memiliki area khusus untuk parkir pengunjung. Berbeda dengan restoran yang bisa dikategorikan restoran mewah, biasanya pasti menyediakan area parkir khusus yang dijaga satpam. Pengujung bahkan tidak perlu membayar uang parkir alias gratis. Hanya saja, biasanya restoran mahal seperti ini tidak terlalu dipadati pengunjung, jadi pengaturan parkirnya juga lebih mudah.
Tapi bagaimana dengan restoran murah meriah yang menjual makanan yang tak kalah enak dengan restoran mahal? Dalam konteks ini, yang kumaksudkan (berdasarkan pengalamanku) adalah restoran cina. Mayoritas orang Medan adalah penyuka makanan cina. Apalagi yang berada di pinggiran jalan atau yang sekedar membuka usaha di lantai dasar rukonya. Selalu padat pengunjung. Mereka tidak punya tempat parkir khusus, jadi pengunjung yang berniat makan di tempat itu harus memarkirkan kendaraannya di sepanjang pinggir jalan.
Kalau hari libur, pinggir jalan itu akan dipenuhi kendaraan yang parkir di kedua sisinya. Begitu berjubelnya, sampai-sampai kendaraan lain yang hendak melintas melalui jalan itupun agak terganggu. Dan siapakah yang diuntungkan oleh keadaan ini? Jawabannya adalah tukang parkir.
Tukang-tukang parkir ini juga bisa lebih dari satu orang. Sepertinya sudah ada pembagian area yang sudah disepakati bersama. Dan satu dengan yang lain tidak akan merebut ”jatah” yang bukan miliknya. Hanya dalam hitungan beberapa menit saja, tangan mereka sudah dipenuhi lembaran-lembaran seribu rupiah yang diberikan para pemilik kendaraan. Aku jadi bertanya-tanya. Kemana larinya uang parkir yang diperoleh mereka itu setiap harinya ya?
Dari penampilan, biasanya tukang-tukang parkir ini akan menggunakan rompi warna oranye terang dengan tulisan ”Dishub” di punggungnya (meskipun ada juga yang tidak). Tapi, apa yang bisa menjamin bahwa mereka benar-benar berasal dari dinas pemerintahan? Toh rompi sederhana seperti itu bisa dengan gampang dibuat kan? Apalagi para tukang parkir ini biasanya tidak memiliki bundel kwitansi resmi dari Dishub. Siapapun yang mengenakan rompi oranye itu bisa saja mengaku-ngaku dari Dishub. Tapi, kepastian mengenai kemana uang parkir yang mereka dapatkan itu akan disetorkan, wallahualam!
Sudah menjadi rahasia umum kalau ”preman” juga mengambil peran dalam ”pengelolaan” uang parkir ini. Kronologisnya begini: setiap orang yang hendak memungut uang parkir dari sebuah lokasi, harus memberikan ”setoran rutin” kepada para preman yang menguasai area tersebut. Mereka akan berbagi hasil. Si tukang parkir menggunakannya untuk mencari nafkah, dan si preman akan ”menjaga” tempat mencari nafkahnya itu. Jadi, meskipun di bagian belakang rompi si tukang parkir bertulisan ”Dishub” tapi uang yang mereka dapatkan akan masuk kantong pribadi.
Mungkin karena uang parkir ”hanya” seribu rupiah, pemilik kendaraan jadi ”malas” berargumen dengan si tukang parkir, misalnya dengan meminta kwitansi untuk pembayaran yang dilakukannya. Bahkan ada pula tukang parkir yang ”berani” meminta pembayaran dua kali lipat, dengan alasan ”setoran hari libur berbeda dengan hari biasa”. Yang tidak mau ribut, langsung saja memenuhi permintaan yang aneh itu. Tapi, orang yang tidak mau dibodoh-bodohi dengan membayar uang parkir sampai dua ribu rupiah apalagi tanpa kwitansi, biasanya akan menolak membayar (biasanya ibu-ibu nih). Itu pun hanya segelintir orang saja. Kebanyakan orang akan mengalah dan meberikan sesuai yang mereka minta. Bayangkan, berapa banyak fulus yang bisa mereka raih hanya dalam satu malam.
Uang parkir bisa dikatakan sebagai sumber pendapatan daerah yang belum dikelola pemda dengan baik. Bisnis perparkiran bisa dibilang tak ada matinya. Karena selama masih ada kendaraan bermotor di daerah itu, maka uang parkir akan selalu mengalir. Sekarang, uang itu masuk ke kantong pribadi orang-orang tertentu. Siapapun bisa menjadi tukang parkir dan memiliki rompi berwarna oranye. Semua pemilik kendaraan tidak mau ambil pusing apakah tukang parkirnya orang pemerintah atau tidak. Yang penting dia bayar parkir, titik. Sekarang, terserah pemdanya. Uang parkir itu mau dimasukkan ke kas pemerintah atau dibiarkan saja masuk ke kas pribadi individual.
Kalau hari libur, pinggir jalan itu akan dipenuhi kendaraan yang parkir di kedua sisinya. Begitu berjubelnya, sampai-sampai kendaraan lain yang hendak melintas melalui jalan itupun agak terganggu. Dan siapakah yang diuntungkan oleh keadaan ini? Jawabannya adalah tukang parkir.
Tukang-tukang parkir ini juga bisa lebih dari satu orang. Sepertinya sudah ada pembagian area yang sudah disepakati bersama. Dan satu dengan yang lain tidak akan merebut ”jatah” yang bukan miliknya. Hanya dalam hitungan beberapa menit saja, tangan mereka sudah dipenuhi lembaran-lembaran seribu rupiah yang diberikan para pemilik kendaraan. Aku jadi bertanya-tanya. Kemana larinya uang parkir yang diperoleh mereka itu setiap harinya ya?
Dari penampilan, biasanya tukang-tukang parkir ini akan menggunakan rompi warna oranye terang dengan tulisan ”Dishub” di punggungnya (meskipun ada juga yang tidak). Tapi, apa yang bisa menjamin bahwa mereka benar-benar berasal dari dinas pemerintahan? Toh rompi sederhana seperti itu bisa dengan gampang dibuat kan? Apalagi para tukang parkir ini biasanya tidak memiliki bundel kwitansi resmi dari Dishub. Siapapun yang mengenakan rompi oranye itu bisa saja mengaku-ngaku dari Dishub. Tapi, kepastian mengenai kemana uang parkir yang mereka dapatkan itu akan disetorkan, wallahualam!
Sudah menjadi rahasia umum kalau ”preman” juga mengambil peran dalam ”pengelolaan” uang parkir ini. Kronologisnya begini: setiap orang yang hendak memungut uang parkir dari sebuah lokasi, harus memberikan ”setoran rutin” kepada para preman yang menguasai area tersebut. Mereka akan berbagi hasil. Si tukang parkir menggunakannya untuk mencari nafkah, dan si preman akan ”menjaga” tempat mencari nafkahnya itu. Jadi, meskipun di bagian belakang rompi si tukang parkir bertulisan ”Dishub” tapi uang yang mereka dapatkan akan masuk kantong pribadi.
Mungkin karena uang parkir ”hanya” seribu rupiah, pemilik kendaraan jadi ”malas” berargumen dengan si tukang parkir, misalnya dengan meminta kwitansi untuk pembayaran yang dilakukannya. Bahkan ada pula tukang parkir yang ”berani” meminta pembayaran dua kali lipat, dengan alasan ”setoran hari libur berbeda dengan hari biasa”. Yang tidak mau ribut, langsung saja memenuhi permintaan yang aneh itu. Tapi, orang yang tidak mau dibodoh-bodohi dengan membayar uang parkir sampai dua ribu rupiah apalagi tanpa kwitansi, biasanya akan menolak membayar (biasanya ibu-ibu nih). Itu pun hanya segelintir orang saja. Kebanyakan orang akan mengalah dan meberikan sesuai yang mereka minta. Bayangkan, berapa banyak fulus yang bisa mereka raih hanya dalam satu malam.
Uang parkir bisa dikatakan sebagai sumber pendapatan daerah yang belum dikelola pemda dengan baik. Bisnis perparkiran bisa dibilang tak ada matinya. Karena selama masih ada kendaraan bermotor di daerah itu, maka uang parkir akan selalu mengalir. Sekarang, uang itu masuk ke kantong pribadi orang-orang tertentu. Siapapun bisa menjadi tukang parkir dan memiliki rompi berwarna oranye. Semua pemilik kendaraan tidak mau ambil pusing apakah tukang parkirnya orang pemerintah atau tidak. Yang penting dia bayar parkir, titik. Sekarang, terserah pemdanya. Uang parkir itu mau dimasukkan ke kas pemerintah atau dibiarkan saja masuk ke kas pribadi individual.