Bosan menghabiskan waktu liburan di pusat perbelanjaan, sekali-sekali kita bisa menghabiskan waktu di tempat-tempat bersejarah. Apalagi kalau punya anak kecil. Jadi sekalian bisa mengajarkan mereka tentang tempat-tempat yang bernilai sejarah yang ada di sekelilingnya.
Hari Minggu kemarin, kami bertandang ke Istana Maimoon. Terus terang, ini kunjungan pertamaku kesini, meskipun aku sudah sepuluh tahun tinggal di Medan ini. Menyedihkan ya? Hehe.. Tapi, tak apalah terlambat, asalkan masih sempat.
Hari Minggu kemarin, kami bertandang ke Istana Maimoon. Terus terang, ini kunjungan pertamaku kesini, meskipun aku sudah sepuluh tahun tinggal di Medan ini. Menyedihkan ya? Hehe.. Tapi, tak apalah terlambat, asalkan masih sempat.
Istana Maimoon identik dengan Puteri Hijau, puteri Sultan Deli. Dia dinamakan Puteri Hijau, karena setiap kali dia mandi, tubuhnya akan memancarkan cahaya kehijauan. Menurut sejarahnya, puteri yang cantik jelita ini dilamar oleh Sultan Iskandar Muda, penguasa Aceh, untuk menjadi permaisurinya. Namun, Puteri Hijau menolak lamaran itu. Akibatnya, Sultan Iskandar Muda pun memutuskan untuk menyerang Kesultanan Deli.
Ketika hal ini terjadi, Puteri Hijau pun mengubah dirinya menjadi sebatang meriam sakti. Karena meriam ini akan melemparkan batu-batu besar ke arah musuh secara terus-menerus tanpa harus dibantu manusia. Dan karena terus mengeluarkan batu tanpa henti, meriam ini menjadi terlalu panas dan akibatnya terbelah dua.
Bagian bawahnya tetap tertinggal di Kerajaan Deli, sementara bagian pucuknya terlempar hingga ke Barus Jahe, Tanah Karo. Ini foto meriam puntung itu, masih tersimpan di bangunan khusus yang terletak di halaman Istana Maimoon. Meriam ini mendapat perlakuan khusus, karena ada rangkaian bunga dan mangkuk berisi jeruk purut yang diletakkan di dekat meriam itu.
Istana Maimoon sendiri merupakan bangunan yang banyak mengadopsi budaya India. Jadi, berbagai ornamen dan bentuk Istana ini sendiri adalah campuran dari budaya India dan budaya Melayu. Didirikan tahun 1888, bangunannya masih terlihat kokoh dan agung. Tak ada biaya khusus yang dikenakan untuk pengunjung yang ingin masuk dan melihat-lihat ke dalam istana. Hanya dipersilahkan mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlasnya untuk membersihkan kompleks istana.
Yang pertama sekali menarik perhatian ku adalah ornamen yang berada di langit-langit istana. Rumit dan cantik.
Di bagian selasar Istana, ornamen langit-langit sekilas terlihat seperti terbuat dari wallpaper. Tapi ternyata langit-langit itu terbuat dari batu dan dilukis tangan secara manual. Sementara di bagian pendopo tempat singgasana sultan berada, langit-langitnya yang lebih tinggi juga dilukis dengan ornamen yang lebih rumit lagi, tapi yang ini terbuat dari kayu. Langit-langitnya tinggi sekali. Membayangkan kalau bangunan semewah ini didirikan tahun 1888, tak terbayangkan berapa seniman yang dipekerjakan hanya untuk melukis langit-langitnya saja.
Dan ada lampu gantung (chandelier) besar yang berada di pendopo.
Ukurannya besar sekali dengan juntaian lampu-lampu dan bola-bola kristal kecil di setiap sisinya. Lampu gantung ini terlihat modern seperti lampu-lampu gantung yang kita lihat di berbagai show room furniture-furniture mewah yang bertebaran di Medan. Tapi ternyata lampu gantung ini berasal dari Prancis dan didatangkan ke Istana Maimoon pada tahun 1888 juga. Jadi, umur lampu gantung yang terlihat modern klasik itu adalah 121 tahun. Dan sama sekali tidak kehilangan keindahannya. Bagus sekali.
Setiap ruangan di dalam istana memiliki corak tersendiri yang berbeda setiap ruangan. Corak lantai di selasar berbeda dengan lantai di pendopo tempat singgasana sultan berada. Juga berbeda di ruang makan istana. Seluruh lantai di istana ini diimpor dari Italia. Sementara perabotannya berasal dari Perancis. Tak heran, kalau di depan singgasana Sultan sendiri terdapat empat buah kursi panjang dengan lengkung-lengkung klasik seperti yang biasa ditemukan di film-film dengan latar belakang Prancis di zaman kerajaan dulu. Kursi-kursi itu memang sudah nampak kusam tapi kain brokat Prancisnya dengan motif-motif khas dan harga selangit itu masih bisa dinikmati, meski tidak diperbolehkan untuk mendudukinya.
Singgasana sultan memenuhi seperempat bagian ruangan besar itu. Ada kesan agung yang membuat kita tidak berani macam-macam di tempat itu.
Warnanya didominasi kuning dan emas, khas Kesultanan Deli. Singgasana dan karpetnya masih produk original alias belum pernah diganti. Karpetnya tebal sekali. Sekeliling singgasana ini dipagari karena pengunjung dilarang memijak karpet, untuk menjaga agar karpet tua itu tidak semakin cepat rusak. Tapi, herannya ada saja pengunjung yang nekat melompati pagar rendah itu hanya untuk bisa berfoto dekat dengan singgasana. Padahal tanpa harus seperti itupun, hasil fotonya akan tetap bagus. Tanpa ragu, penjaga istana langsung mengusir si ibu-ibu yang sudah panteng siap untuk bergaya di depan suaminya yang berniat memotret. Karena diusir, batallah niatnya dan dengan malu-malu dia keluar dari area singgasana itu.
Di bagian ruang makan istana, terdapat singgasana yang berukuran lebih kecil tempat sultan dan permaisuri duduk ketika bersantap.
Sandaran kursinya tinggi sekali. Kalau yang ini, pengunjung bisa duduk untuk berfoto. Bahkan disediakan penyewaan pakaian adat Melayu dengan biaya 15 ribu rupiah saja untuk yang ingin berfoto. Kami juga sempat berfoto dengan duduk di singgasana itu. Rasanya, bercampur antara sedikit takut akan merusak benda bernilai sejarah itu dengan keinginan untuk merasakan bagaimana rasanya duduk di kursi tempat seorang permaisuri raja berada ratusan tahun yang lalu. Rasanya: AGUNG! Oh ya, kain pelapis kursi ini juga dibuat dari brokat Prancis seperti yang di depan singgasana Sultan. Hanya berbeda warna saja. Di depan brokatnya warna hijau tua, yang di ruang makan berwarna kuning dan emas.
Di sepanjang dinding ruangan dipajang foto-foto hitam putih dan lukisan-lukisan tua yang sudah berumur ratusan tahun. Umumnya foto dan lukisan Sultan-Sultan Deli yang sudah memerintah turun-temurun sejak tahun 1600-an. Ganteng-ganteng dan tinggi besar seperti orang Eropa. Aku lebih tertarik dengan foto-foto permaisuri sultan yang anggun dan ayu. Ada permaisuri yang berasal dari Kesultanan Aceh, Kesultanan Perak dan Kesultanan Bone. Bahkan ada foto permaisuri dari Kesultanan Perak yang difoto dengan rambut terurai. Rambutnya bergelombang dan panjangnya sampai ke lantai. Cantik sekali. Sementara permaisuri yang lain ada yang mengenakan sanggul sederhana, tapi juga tak kalah cantiknya. Tak perlu heran sebenarnya, karena mereka juga sebenarnya adalah puteri-puteri bangsawan yang kemudian dilamar oleh sultan-sultan Deli dan dibawa ke Medan.
Sultan yang termuda sekarang baru berumur 13 tahun dan masih bersekolah. Dialah sultan terbaru sekaligus yang termuda.
Jalan-jalan sebentar di Istana Maimoon ternyata tidak sia-sia. Hanya bisa merasakan berada di bangunan yang sudah berusia 121 tahun saja rasanya sudah luar biasa. Apalagi kalau bisa merasakan duduk di singgasana permaisuri dan melihat ornamen-ornamennya yang luar biasa. Sayang, istana ini kurang terawat. Mudah-mudahan saja tidak rusak. Karena nilai sejarahnya membuat bangunan ini tidak ternilai harganya.
Ketika hal ini terjadi, Puteri Hijau pun mengubah dirinya menjadi sebatang meriam sakti. Karena meriam ini akan melemparkan batu-batu besar ke arah musuh secara terus-menerus tanpa harus dibantu manusia. Dan karena terus mengeluarkan batu tanpa henti, meriam ini menjadi terlalu panas dan akibatnya terbelah dua.
Bagian bawahnya tetap tertinggal di Kerajaan Deli, sementara bagian pucuknya terlempar hingga ke Barus Jahe, Tanah Karo. Ini foto meriam puntung itu, masih tersimpan di bangunan khusus yang terletak di halaman Istana Maimoon. Meriam ini mendapat perlakuan khusus, karena ada rangkaian bunga dan mangkuk berisi jeruk purut yang diletakkan di dekat meriam itu.
Istana Maimoon sendiri merupakan bangunan yang banyak mengadopsi budaya India. Jadi, berbagai ornamen dan bentuk Istana ini sendiri adalah campuran dari budaya India dan budaya Melayu. Didirikan tahun 1888, bangunannya masih terlihat kokoh dan agung. Tak ada biaya khusus yang dikenakan untuk pengunjung yang ingin masuk dan melihat-lihat ke dalam istana. Hanya dipersilahkan mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan seikhlasnya untuk membersihkan kompleks istana.
Yang pertama sekali menarik perhatian ku adalah ornamen yang berada di langit-langit istana. Rumit dan cantik.
Di bagian selasar Istana, ornamen langit-langit sekilas terlihat seperti terbuat dari wallpaper. Tapi ternyata langit-langit itu terbuat dari batu dan dilukis tangan secara manual. Sementara di bagian pendopo tempat singgasana sultan berada, langit-langitnya yang lebih tinggi juga dilukis dengan ornamen yang lebih rumit lagi, tapi yang ini terbuat dari kayu. Langit-langitnya tinggi sekali. Membayangkan kalau bangunan semewah ini didirikan tahun 1888, tak terbayangkan berapa seniman yang dipekerjakan hanya untuk melukis langit-langitnya saja.
Dan ada lampu gantung (chandelier) besar yang berada di pendopo.
Ukurannya besar sekali dengan juntaian lampu-lampu dan bola-bola kristal kecil di setiap sisinya. Lampu gantung ini terlihat modern seperti lampu-lampu gantung yang kita lihat di berbagai show room furniture-furniture mewah yang bertebaran di Medan. Tapi ternyata lampu gantung ini berasal dari Prancis dan didatangkan ke Istana Maimoon pada tahun 1888 juga. Jadi, umur lampu gantung yang terlihat modern klasik itu adalah 121 tahun. Dan sama sekali tidak kehilangan keindahannya. Bagus sekali.
Setiap ruangan di dalam istana memiliki corak tersendiri yang berbeda setiap ruangan. Corak lantai di selasar berbeda dengan lantai di pendopo tempat singgasana sultan berada. Juga berbeda di ruang makan istana. Seluruh lantai di istana ini diimpor dari Italia. Sementara perabotannya berasal dari Perancis. Tak heran, kalau di depan singgasana Sultan sendiri terdapat empat buah kursi panjang dengan lengkung-lengkung klasik seperti yang biasa ditemukan di film-film dengan latar belakang Prancis di zaman kerajaan dulu. Kursi-kursi itu memang sudah nampak kusam tapi kain brokat Prancisnya dengan motif-motif khas dan harga selangit itu masih bisa dinikmati, meski tidak diperbolehkan untuk mendudukinya.
Singgasana sultan memenuhi seperempat bagian ruangan besar itu. Ada kesan agung yang membuat kita tidak berani macam-macam di tempat itu.
Warnanya didominasi kuning dan emas, khas Kesultanan Deli. Singgasana dan karpetnya masih produk original alias belum pernah diganti. Karpetnya tebal sekali. Sekeliling singgasana ini dipagari karena pengunjung dilarang memijak karpet, untuk menjaga agar karpet tua itu tidak semakin cepat rusak. Tapi, herannya ada saja pengunjung yang nekat melompati pagar rendah itu hanya untuk bisa berfoto dekat dengan singgasana. Padahal tanpa harus seperti itupun, hasil fotonya akan tetap bagus. Tanpa ragu, penjaga istana langsung mengusir si ibu-ibu yang sudah panteng siap untuk bergaya di depan suaminya yang berniat memotret. Karena diusir, batallah niatnya dan dengan malu-malu dia keluar dari area singgasana itu.
Di bagian ruang makan istana, terdapat singgasana yang berukuran lebih kecil tempat sultan dan permaisuri duduk ketika bersantap.
Sandaran kursinya tinggi sekali. Kalau yang ini, pengunjung bisa duduk untuk berfoto. Bahkan disediakan penyewaan pakaian adat Melayu dengan biaya 15 ribu rupiah saja untuk yang ingin berfoto. Kami juga sempat berfoto dengan duduk di singgasana itu. Rasanya, bercampur antara sedikit takut akan merusak benda bernilai sejarah itu dengan keinginan untuk merasakan bagaimana rasanya duduk di kursi tempat seorang permaisuri raja berada ratusan tahun yang lalu. Rasanya: AGUNG! Oh ya, kain pelapis kursi ini juga dibuat dari brokat Prancis seperti yang di depan singgasana Sultan. Hanya berbeda warna saja. Di depan brokatnya warna hijau tua, yang di ruang makan berwarna kuning dan emas.
Di sepanjang dinding ruangan dipajang foto-foto hitam putih dan lukisan-lukisan tua yang sudah berumur ratusan tahun. Umumnya foto dan lukisan Sultan-Sultan Deli yang sudah memerintah turun-temurun sejak tahun 1600-an. Ganteng-ganteng dan tinggi besar seperti orang Eropa. Aku lebih tertarik dengan foto-foto permaisuri sultan yang anggun dan ayu. Ada permaisuri yang berasal dari Kesultanan Aceh, Kesultanan Perak dan Kesultanan Bone. Bahkan ada foto permaisuri dari Kesultanan Perak yang difoto dengan rambut terurai. Rambutnya bergelombang dan panjangnya sampai ke lantai. Cantik sekali. Sementara permaisuri yang lain ada yang mengenakan sanggul sederhana, tapi juga tak kalah cantiknya. Tak perlu heran sebenarnya, karena mereka juga sebenarnya adalah puteri-puteri bangsawan yang kemudian dilamar oleh sultan-sultan Deli dan dibawa ke Medan.
Sultan yang termuda sekarang baru berumur 13 tahun dan masih bersekolah. Dialah sultan terbaru sekaligus yang termuda.
Jalan-jalan sebentar di Istana Maimoon ternyata tidak sia-sia. Hanya bisa merasakan berada di bangunan yang sudah berusia 121 tahun saja rasanya sudah luar biasa. Apalagi kalau bisa merasakan duduk di singgasana permaisuri dan melihat ornamen-ornamennya yang luar biasa. Sayang, istana ini kurang terawat. Mudah-mudahan saja tidak rusak. Karena nilai sejarahnya membuat bangunan ini tidak ternilai harganya.
Sejarah adalah masa lalu, tapi perlu diketahui oleh generasi masa sekarang agar tertanam rasa cinta budaya bangsa.
ReplyDeleteWah, jd pengen dateng ke sana....!
ReplyDeleteMinta alamat lengkapnya dunk, mbak!
Thx, good info...