Apa yang akan kau lakukan kalau seandainya pasanganmu (suamimu/istrimu) meninggalkanmu terlebih dahulu? Dalam hal ini, ”meninggalkan” yang kumaksud adalah pergi menghadap Yang Maha Kuasa secara tiba-tiba. Tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal? Tanpa sempat memberikan pelukan terakhir? Bahkan tanpa sempat melihat pandangan matanyan untuk yang terakhir kalinya? Pastinya perasaan akan hancur lebur.
Waktu aku mencoba menempatkan diriku pada kondisi yang kugambarkan di atas, tak perlu menunggu terlalu lama, air mataku langsung mengalir. Waktu aku membayangkan akan kehilangan suamiku tercinta secara mendadak dan penderitaan itu bisa langsung muncul tanpa harus mengalaminya langsung. Kesedihan yang bahkan mungkin bisa membuat jantung berkarat.
Waktu aku mencoba menempatkan diriku pada kondisi yang kugambarkan di atas, tak perlu menunggu terlalu lama, air mataku langsung mengalir. Waktu aku membayangkan akan kehilangan suamiku tercinta secara mendadak dan penderitaan itu bisa langsung muncul tanpa harus mengalaminya langsung. Kesedihan yang bahkan mungkin bisa membuat jantung berkarat.
Kalau ”nahkodaku” itu dipilih Tuhan untuk berangkat terlebih dahulu, perasaan duka itu pasti akan kubawa sampai mati. Kepergiannya akan membawa setengah bagian dari jantungku, dan separuh dari napasku (seperti lagu Dewa.. sekarang aku menyadari makna mendalam dari ungkapan itu) pergi bersamanya. Semua kenangan-kenangan yang pernah kami alami bersama pasti akan berputar-putar silih berganti seperti video klip. Menceritakan kembali bagaimana kami bertemu dulu sampai kemudian memutuskan untuk saling mengenal lebih jauh lagi. Lalu bagaimana perkenalan itu berlanjut ke pernikahan sampai akhirnya kami memiliki anak kami saat ini. Dulunya, kenangan itu pasti akan terasa indah. Tapi saat duka itu datang, semua kenangan itu akan berubah menjadi sembilu.
Setelah itu, hanya satu pertanyaan yang pastinya akan berputar-putar di kepalaku.
Lalu aku akan teringat anakku dan bagaimana cara menjelaskan kepadanya, bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi? Bagaimana cara menjelaskan kepadanya, bahwa papanya tidak akan pernah ada di sampingnya lagi ketika dia bangun pagi? Bagaimana menjelaskan padanya, bahwa dia tidak akan pernah melihat papanya lagi, mulai dari pagi sampai ke pagi esok harinya? Tidak akan pernah lagi. Tidak dunia ini. Bagaimana caranya menjadi tegar dan menyiapkan diri sebagai tempat pelipur laranya, ketika diriku sendiripun seperti sudah tidak berpijak di dunia ini lagi? Tapi, sebanyak apapun pertanyaan yang muncul, tidak akan pernah ada jawaban yang memadai untuk itu.
Yang pasti, ketika aku mengalami musibah ini, aku akan lebih memilih untuk mencari tempat menyendiri bersama anakku. Aku tidak membutuhkan penghiburan apapun saat itu. Aku hanya ingin menyendiri untuk sementara waktu dan berhadapan langsung dengan penderitaan itu. Dengan begitu, aku berharap bisa mengalahkan rasa sakit yang mendera, rasa bingung yang memusingkan dan rasa kehilangan harapan. Aku memang harus mengalahkannya, baru kemudian aku bisa bertambah kuat. Untuk anakku. Karena rasa sakit itu tidak akan bisa lebih jauh lagi menyakitiku. Ketika aku sudah mengalahkannya, baru aku akan bisa menghadapi wajah-wajah berduka orang lain. Baru aku mungkin akan bisa menerima kata-kata penghiburan dari orang lain. Baru aku bisa membuka hati dan jiwaku yang lara untuk mencari ”rencana indah” yang sudah disiapkan Tuhan untukku, setelah badai ini berlalu. Baru aku bisa menatap anakku di matanya dan berkata kalau papanya tercinta sudah berada di rumah Bapa.
Renungan ini sungguh-sungguh membuat hatiku sakit dan menguras air mataku. Padahal aku hanya membuat gambarannya di dalam otakku saja dan tidak mengalami langsung. Bagaimana lagi perasaan orang lain yang sedang mengalaminya? Hanya Tuhanlah yang tahu.
Tapi tulisan ini secara khusus ku-dedikasikan untuk salah seorang sahabat dari kota kelahiranku, Kak Novita Simatupang. Yang kehilangan suaminya tercinta ketika gempa bumi terjadi di Padang. Suaminya adalah salah satu korban yang berada di Hotel Ambacang yang sudah rata dengan tanah. Aku tahu, tak ada kata-kata penghiburan yang bisa menenangkan hatimu saat ini, kak. Dan aku tidak memiliki kata penghiburan apapun yang bisa mewakili perasaan duka citaku saat ini. Tapi, ada satu hal yang aku yakini. Tuhan akan langsung mengambil alih peran nahkoda itu, kak. Saat ini, Tuhan-lah yang menjadi kepala rumah tanggamu, dan mengisi kekosongan di setengah bagian jiwamu yang sudah berangkat duluan.
Setelah itu, hanya satu pertanyaan yang pastinya akan berputar-putar di kepalaku.
”Kenapa, Tuhan? Kenapa?”
Ketika itu, aku pasti akan merasa telah ditinggalkan Tuhan. Aku akan merasa Tuhan tidak menyayangi aku, karena Dia telah mengambil separuh dari jiwaku untuk alasan yang sama sekali tidak akan pernah aku mengerti. Kenapa Dia harus mengambilnya? Dan saat itu, aku tidak akan mau mengerti dan menerima ungkapan ”Semua ada hikmahnya”
yang ditujukan orang kepadaku. Ataupun kalimat ”Pasti Tuhan sudah memiliki rencana yang lebih indah untukmu.”
sebagai kalimat penghiburan. Aku akan menganggap itu semua omong kosong. Tidak akan pernah ada keindahan di balik penderitaan ini.Lalu aku akan teringat anakku dan bagaimana cara menjelaskan kepadanya, bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi? Bagaimana cara menjelaskan kepadanya, bahwa papanya tidak akan pernah ada di sampingnya lagi ketika dia bangun pagi? Bagaimana menjelaskan padanya, bahwa dia tidak akan pernah melihat papanya lagi, mulai dari pagi sampai ke pagi esok harinya? Tidak akan pernah lagi. Tidak dunia ini. Bagaimana caranya menjadi tegar dan menyiapkan diri sebagai tempat pelipur laranya, ketika diriku sendiripun seperti sudah tidak berpijak di dunia ini lagi? Tapi, sebanyak apapun pertanyaan yang muncul, tidak akan pernah ada jawaban yang memadai untuk itu.
Yang pasti, ketika aku mengalami musibah ini, aku akan lebih memilih untuk mencari tempat menyendiri bersama anakku. Aku tidak membutuhkan penghiburan apapun saat itu. Aku hanya ingin menyendiri untuk sementara waktu dan berhadapan langsung dengan penderitaan itu. Dengan begitu, aku berharap bisa mengalahkan rasa sakit yang mendera, rasa bingung yang memusingkan dan rasa kehilangan harapan. Aku memang harus mengalahkannya, baru kemudian aku bisa bertambah kuat. Untuk anakku. Karena rasa sakit itu tidak akan bisa lebih jauh lagi menyakitiku. Ketika aku sudah mengalahkannya, baru aku akan bisa menghadapi wajah-wajah berduka orang lain. Baru aku mungkin akan bisa menerima kata-kata penghiburan dari orang lain. Baru aku bisa membuka hati dan jiwaku yang lara untuk mencari ”rencana indah” yang sudah disiapkan Tuhan untukku, setelah badai ini berlalu. Baru aku bisa menatap anakku di matanya dan berkata kalau papanya tercinta sudah berada di rumah Bapa.
Renungan ini sungguh-sungguh membuat hatiku sakit dan menguras air mataku. Padahal aku hanya membuat gambarannya di dalam otakku saja dan tidak mengalami langsung. Bagaimana lagi perasaan orang lain yang sedang mengalaminya? Hanya Tuhanlah yang tahu.
Tapi tulisan ini secara khusus ku-dedikasikan untuk salah seorang sahabat dari kota kelahiranku, Kak Novita Simatupang. Yang kehilangan suaminya tercinta ketika gempa bumi terjadi di Padang. Suaminya adalah salah satu korban yang berada di Hotel Ambacang yang sudah rata dengan tanah. Aku tahu, tak ada kata-kata penghiburan yang bisa menenangkan hatimu saat ini, kak. Dan aku tidak memiliki kata penghiburan apapun yang bisa mewakili perasaan duka citaku saat ini. Tapi, ada satu hal yang aku yakini. Tuhan akan langsung mengambil alih peran nahkoda itu, kak. Saat ini, Tuhan-lah yang menjadi kepala rumah tanggamu, dan mengisi kekosongan di setengah bagian jiwamu yang sudah berangkat duluan.
turut berduka cita atas meninggalnya suami sahabatnya mbak Risma.
ReplyDeletenggak pernah bisa dibayangkan jika kita harus kehilangan orang-orang yang kita sayangi begitu cepat.
titip doa untuk saudara-saudara yang tertimpa musibah, semoga tabah menghadapi cobaan.
Iya ya, saya juga pernah membayangkan hal tersebut jika terjadi pada saya, sampai terbawa dalam mimpi kalau suami saya sudah meninggal. Ketika masih dalam keadaan tidur saya menangis hingga terbangun. Rasanya seperti nyata. Ternyata kehilangan orang yang kita sayangi sungguh menyakitkan hati.
ReplyDelete