Monday, September 28, 2009

Fernando Sinaga? Eh, salah... Fernando Silitonga

Niat awalnya sungguh mulia Aku ingin membantu salah satu keponakanku yang sedang menyusun skripsinya. Dia kuliah di informatika IT. Tiba-tiba saja aku teringat dengan salah seorang teman SMP-ku yang kuliah di tehnik informatika UGM, namanya Fernando Sinaga.

Aku yakin, dia pasti bisa membantu keponakanku itu. Karena dia hanya butuh teman yang bisa diajak diskusi soal materi skripsinya sekaligus mencari tambahan referensi. Toh semua itu bisa dilakukan via email kan? Jadi, aku berniat menghubungi langsung si Fernando ini dulu via sms, dan menjelaskan semuanya. Kalau dia setuju, baru aku menyuruh keponakanku itu untuk meng-add Facebooknya. Biar lebih sopan.

Maka, sambil menggoreng ikan, aku mengirim sms ke Fernando Sinaga. Aku sudah lama memiliki nomor ponselnya, jadi tinggal sms saja. Tak lupa aku menuliskan namaku sebagai pengirim, siapa tahu dia sudah lupa nomor ponselku. Aku minta mau tanya dulu, apa dia keberatan atau tidak. Dan jawaban yang kudapat cukup menyenangkan. Karena dia bahkan langsung memberikan alamat emailnya agar lebih gampang. Tapi di ujung smsnya dia menanyakan apa aku ini istri dari salah seorang kenalannya dan memanggilku kakak?

Aku jadi bingung. Kok dia panggil kakak? Apa ini nomor ponsel adiknya? Dan aku juga tidak mengenal orang yang disebutnya itu. Jadi aku balas lagi, dan menanyakan kalau-kalau ternyata aku kirim sms sama adiknya. Dia tidak membalas lagi. Tapi langsung menelepon.

Waktu aku dengar suaranya, aku jadi curiga. Memang terakhir kali aku ketemu dengan dia ya waktu SMA dulu. Tapi, sepertinya suaranya tidak seperti itu. Dan benar saja!! Ternyata dia bukan Fernando Sinaga tapi Fernando Silitonga

Ya ampuunn!! Malunya... Dalam sekejab aku jadi merasa seperti gadis remaja iseng yang pura-pura kirim sms ke sembarang nomor untuk mengajak kenalan. Buru-buru aku minta maaf sama Fernando Silitonga ini. Kok bisa-bisanya mereka berdua sama-sama bernama Fernando. Hanya berbeda marga saja. Sinaga dan Silitonga. Kebetulan yang aneh.

Sebenarnya aku tidak pernah sembarangan mencatat nomor ponsel kawan-kawan di ponselku. Sumbernya harus jelas dan pasti. Biasanya, yang kuanggap sebagai sumber yang jelas adalah kalah nomor itu diberikan langsung oleh pemiliknya atau kudapatkan dari kawanku sendiri. Aku tidak pernah mempercayai nomor ponsel yang dituliskan di data diri online.

Tapi anehnya, aku nggak ingat sama sekali, darimana aku dapat nomor ponsel yang satu ini. Karena nomor ini sudah lama nongrong di ponselku. Memang yang pasti aku tidak mendapatkannya dari orangnya langsung, karena aku belum pernah bertemu lagi dengan dia. Jadi, kemungkinan satu-satunya adalah aku mendapat nomor ini adalah dari salah seorang teman yang tidak bisa kuingat. Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali menggetok jidatnya karena sudah memberikan nomor ponsel yang salah padaku Jangan-jangan, sebenarnya Fernando yang kukenal itu juga bukan lulusan informatika UGM..

Tapi, apa mau dikata? Tokh semuanya sudah terjadi. Ya sudahlah. Aku malah jadi tertawa karena merasa lucu (dengan sedikit rasa malu karena sudah sok kenal). Jadi, aku memberikan publikasi gratis untuk kedua ”Fernando” ini disini. Sebagai bentuk ucapan terimakasih karena sudah mencerahkan hari Senin pagiku ini. Untuk keponakanku sayang, sabar ya. Nanti kucarikan Fernando yang tepat untuk membantu skripsimu

Wednesday, September 23, 2009

Aku Alumni Cinta Rakyat P.Siantar

Kali ini aku mau menuliskan sesuatu yang khusus untuk kawan-kawanku alumni SD dan SMP. Karena aku yakin, kalau kawan-kawan blogger yang kebetulan datang dan membaca artikel ini kemungkinan besar tidak akan terlalu tertarik karena artikel ini lumayan khusus. Tapi kalau tetap ingin membaca dan mengomentarinya, tentu saja tidak ada yang keberatan kan? Aku sengaja menuliskannya disini, karena artikel ini juga sudah terhubung dengan rss-feed di Facebook. Jadi, sekali mendayung dua pulau terlampaui

Jadi, kawan-kawan alumniku, kemarin aku pulang kampung dan menyempatkan diri untuk mengunjungi almamater kita dulu. Aku datang kesana sore-sore dengan adik dan anakku, Asha. Tiba-tiba aku merasa rindu untuk datang dan melihat-lihat keadaan sekolah tempat kita menghabiskan masa kanak-kanak dan pra-remaja dulu. Dan pengalaman 15 menit ini, ternyata cukup memancing rasa terharu. Ketika tanpa sadar kenangan-kenangan yang sudah berlalu dalam hitungan puluhan tahun itu, samar-sama muncul dan sempat membuat mata sedikit berkaca-kaca.

Karena itu, aku ingin membagikan oleh-oleh digital yang kubawa dari tempat sekolah kita dulu disini. Sekaligus memberikan kesempatan untuk kawan-kawan yang mungkin sudah lama tidak bisa melihat gedung sekolah kita lagi karena berada di luar kota atau bahkan di luar negeri. Mudah-mudahan gambar-gambar ini bisa sedikit membangkitkan kenangan-kenang masa kecil dan pra-remaja sebelum memasuki SMU dulu. Ini hanya ada beberapa gambar saja. Gambar-gambar lainnya aku upload langsung di Facebook.

Untuk kawan-kawan alumni SD Katolik Cinta Rakyat 2 Pematangsiantar, aku punya

ini adalah objek yang pertama sekali kuabadikan. Plakat ini masih belum berubah dan tetap diletakkan di bagian depan gedung sekolah.

Aku juga masih sempat mengambil foto Asha sewaktu berlari-lari di lorong sekolah kita dulu

Ini adalah satu bagian yang lumayan membuat terharu. Membayangkan bagaimana aku dulu dengan seragam putih merahku, berlarian kesana-kemari dengan kawan-kawan yang lain. Sekarang, aku bisa melihat anakku yang berumur 2 tahun ini yang berlarian kesana-kemari, di lorong sekolah tempat mamanya dulu pertama sekali mengenal indahnya dunia sekolah.

Dan untuk kawan-kawan alumni SMP Katolik Cinta Rakyat 1 Pematangsiantar, ini sedikit oleh-oleh yang juga kubawa dari sana. Gedung sekolah kita dulu benar-benar sudah mengalami banyak perubahan. Gedung yang sekarang terlihat lebih megah dan modern. Hampir semua bangunan lama sudah direnovasi dan hanya sebagian kecil saja yang dibiarkan seperti aslinya.

Seluruh lapangan sudah dilapis beton jadi tidak adalagi lapangan rumput yang dulu.

Tapi yang paling membuat sedih adalah dua pohon tempat berteduh dulu yang biasa kita sebut "Dibawah Pohon Rindang" alias DPR, sudah ditebang. Padahal aku masih ingat waktu dulu sering duduk di bawah pohon itu waktu istirahat sekolah. Yah, waktu-waktu itu memang sudah lama berlalu dan suka atau tidak suka, zaman sudah berubah. Toh perubahan itu tidak akan menghapus semua kenangan-kenangan indah di masa sekolah dulu kan? Oh ya, tidak lupa Asha juga menyempatkan diri berfoto di depan gedung sekolah tempat mamanya dulu menimba ilmu

Hehehe..

Tulisan dan foto-foto ini khusus kuhadiahkan untuk kawan-kawan alumni lulusan 1993 SD RK Cinta Rakyat P. Siantar dan kawan-kawan alumni lulusan 1996 SMP RK Cinta Rakyat P. Siantar. Tapi tetap tidak menutup kesempatan bagi kawan-kawan lainnya. Selamat menikmati gambarnya.

Friday, September 18, 2009

THR Si Tukang Sampah

Pulang dari jalan-jalan hari kemarin, aku dibuat bingung dengan laporan dari pembantu rumah. Katanya, orang yang biasa mengangkut sampah di kompleks perumahan kami datang dan minta THR sama kami. Apa? Nggak salah tuh orang? Ada urusan apa dia minta THR sama kami? Waktu pembantu rumahku menanyakan THR seperti apa yang dia maksud, dia cuma bilang:
”Yah, bisa minuman botol atau roti kaleng lah.”
Weeewww.. Ini orang, sudah mintanya maksa, dia pula yang menentukan bentuk THR nya.

Sebenarnya aku sudah agak kesal ”ditodong” seperti itu. Aku merasa tidak punya kewajiban sama sekali untuk memberikan dia Tunjangan Hari Raya. Bonus itu cuma aku berikan untuk pembantu rumahku. Ya wajarlah. Dia kerja seharian di rumah. Mencuci, menyapu, menyetrika dan mengepel. THR adalah seperti bonus untuk menyenangkan hatinya menyambut Lebaran. Tapi si tukang pungut sampah ini siapa? Datangnya cuma dua kali seminggu dan angkut sampahnya tidak bersih alias ada yang berceceran kemana-mana. Dan yang lebih buat kesal lagi, mereka bilang tidak mau mengangkut sampah rumput dari depan rumah.

Biasanya sekali sebulan aku bayarin tukang rumput untuk membabat rumput di halaman depan dan belakang. Habis dibabat, rumput-rumput itu biasanya dimasukkan ke dalam beberapa goni dan diletakkan di samping tong sampah. Jadi, kalau truk pengangkut sampahnya datang, sekalian angkut rumput yang di dalam goni. Eh, mereka protes. Katanya, sampah rumput harus dibuang sendiri. Heran. Tukang sampah kok milih-milih sampah mana yang mau dibuang dan sampah mana yang harus dibuang sendiri. Padahal dia tinggal mengangkut dengan truknya, bukan panggul sendiri. Untungnya tukang potong rumput langgananku itu baik. Jadi, habis potong rumput dia yang buang rumputnya.

Membayangkan hal yang satu ini saja, sudah cukup membuatku keberatan ketika ditodong harus memberikan THR untuk mereka. Tapi rasanya capek juga kalau harus repot-repot meladeni mereka untuk bilang kalau aku keberatan dengan todongan THR itu. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikannya juga dengan tidak rela. Aku membeli sebotol sirup markisa saja. Daripada ribut. Berapalah harga sebotol markisa, kan? Lalu ketika keesokan harinya, si truk pengangkut sampah datang lagi lengkap dengan teriakan-teriakan memanggil, aku menyuruh pembantu rumah untuk memberikan sirup markisa itu lengkap dengan wanti-wanti seandainya dia menanyakan aku, bilang tidak ada di rumah.

Ternyata dia tidak mengatakan apa-apa, kecuali menerima sirup itu dan mengucapkan terimakasih. Aku perhatikan dari balik kaca gelap jendela, kalau tukang angkut sampah itu tidak memanggil pemilik rumah di depan ataupun di kiri-kanan rumah kami. Berarti dia tidak "menodong" mereka dengan THR kan? Aku jadi berpikir jangan-jangan kami ditipu nih sama mereka. Jangan-jangan hanya kami saja yang kena todong seperti itu. Atau mungkin semua dimintai juga, tapi hanya kami saja yang bersedia memberikan. Langsung dipenuhi pemikiran negatif.

Tapi kemudian aku tersadar. Bukankah seharusnya aku bersyukur karena ternyata mampu memberikan sesuatu untuk mereka? Ketika orang lain yang jauh lebih mampu dari kamipun memilih untuk tidak memberikan, kami masih bisa memberikan sebotol sirup sebagai THR mereka?

Mungkin aku hanya kesal karena tindakan mereka yang menurutku kurang menyenangkan dengan memilih-milih sampah mana yang mau diangkut dan mana yang harus dibuang sendiri. Mungkin juga aku kesal karena mereka kuanggap kurang sopan karena dengan tenangnya mengatakan: ”Kami minta THR.” Dan rasa kesal pulalah yang telah membuatku ”tega” hanya memberikan sebotol sirup saja dan bukannya setengah lusin sekaligus.

Entahlah. Tapi kekesalanku jadi berkurang begitu melihat ternyata tidak semua pemilik rumah yang mau memberikan apa yang mereka minta itu. Mudah-mudahan saja pemberian kecil dari kami itu berguna. Karena aku sadar, THR pasti memberi kesan tersendiri bagi setiap orang yang menerimanya. Apalagi mereka yang memerlukannya untuk berhari raya. Selamat Lebaran untuk kawan-kawan yang merayakannya.

Tuesday, September 15, 2009

Keep The Fire!

Sebelumnya, aku mau minta maaf dulu karena menghilang selama beberapa hari tanpa kabar berita. Sebenarnya, aku sedang terkena demam Pet Society dan Farmville di Facebook. Jadi, setiap kali membuka laptop, itulah hal pertama yang kucari dan kubereskan. Niatnya mula-mula sih cuma mau main-main sebentar saja, baru buka blog. Eeehh..seringnya malah jadi keterusan. Jadinya, blog ku agak kurang perhatian selama beberapa hari ini.

Sekarang, aku datang lagi dengan sebuah cerita baru. Kali ini mau ambil topik tentang pernikahan dulu ah.
Ada cerita lucu yang biasanya beredar diantara pasangan kekasih ataupun suami istri. Aku yakin banyak diantara kita yang sudah pernah mendengar cerita lucu ini, atau mungkin pula sebagai penciptanya?
Pertama, sebelum menikah:
Sepasang kekasih akan berjalan berdampingan dan saling bergandengan tangan. Ketika si perempuan tersandung batu, kekasihnya akan berkata:
”Ya, ampun. Hati-hati dong, sayang. Mana yang sakit? Coba kulihat dulu..”
Kedua, setelah menikah dan punya anak:
Sepasang suami istri akan berjalan dengan posisi suami berjalan sendirian di depan dan si istri berjalan di belakang sambil memegang tangan anak-anaknya. Ketika si istri tiba-tiba tersandung batu, suaminya berbalik dengan tampang terkejut dan kesal sambil berkata:
”Kenapa kau? Kalau jalan itu pakai mata! Masa itu saja nggak bisa!”

Apakah betul ada perbedaan mendasar yang pasti akan dialami dua orang yang saling mencintai ini, setelah mereka menikah nanti? Sewaktu pacaran saja, katanya dunia ini milik berdua dan orang lain cuma ngontrak saja. Begitu menikah, keadaan jadi terbalik. Pacar yang dulunya mesra, berubah jadi seperti orang lain. Tidak pernah lagi jalan bergandengan, tidak pernah lagi saling memuji dan tidak pernah lagi saling bilang cinta.

Memang kebanyakan pasangan yang sudah menikah akan mulai menggeser ”bumbu romantis” agak semakin ke sudut. Hanya saja tingkat ”tenaga menggeser”nya berbeda-beda. Ada yang benar-benar menggesernya hingga jauh dan memilih untuk melupakan kembali keromantisan berpacaran dulu. Ada juga yang hanya menggeser sedikit saja, dalam artian tidak berniat untuk melupakan sama sekali. Hanya mengurangi saja.

Aku pernah membaca tulisan seorang konsultan pernikahan, ketika ada seorang perempuan yang mengirim surat kepadanya untuk menanyakan solusi atas masalah yang sedang dialaminya. Si istri mengeluh kalau suaminya sekarang sudah tidak tertarik lagi padanya. Karena suaminya sudah tidak pernah lagi bilang ”I Love You”. Tidak pernah lagi mengajak nonton bioskop. Tidak pernah lagi mengajak makan berdua, dan sebagainya. Waktunya selalu habis di kantor. Pulang ke rumah, langsung memilih bermain-main dengan anak mereka sampai kecapekan dan tidur. Atau yang lebih parahnya lagi, ada yang memilih langsung nempel di sofa di depan tv dan menonton chanel olahraga. Si istri? Sehabis menyediakan makan malam untuk suaminya, dibiarkan bengong menonton acara olahraga yang tidak terlalu diminatinya itu.

Si konsultan memberikan jawaban sederhana tapi menurutku sangat masuk akal. Perubahan itu terjadi karena pasangan yang telah menikah memiliki prioritas yang berbeda dari pasangan yang masih pacaran. Ya jelas dong.

Sewaktu masih pacaran, prioritasnya adalah bagaimana agar hubungan yang masih dalam tahap saling mengenal itu bisa sukses. Kalau masing-masing sudah saling menyukai tentunya ingin membawanya ke jenjang pernikahan toh? Untuk itulah baik si laki-laki ataupun perempuan akan selalu berusaha menyenangkan hati pasangannya. Perhatian yang diberikan pun kadang-kadang sangat berlebihan. Saling berkirim sms sampai puluhan kali dalam sehari, hanya untuk menanyakan hal yang sepele saja. Seperti:
”Sudah makan siang, sayang?” (hitungannya 3x sehari, termasuk sarapan dan makan malam)
”Jangan lupa mandinya, sayang.” (minimal 2x sehari, mandi pagi dan sore hari)
Untuk itu saja minimal sudah lima kali sms, belum termasuk balasan-balasan lainnya. Dan pertanyaan yang paling ”mubazir” tapi biasa dilakukan oleh ”yang baru jadi” adalah:
”Lagi ngapain, sayang?” (ya ampun, pertanyaan itu bisa punya banyak jawaban. Dan akhirnya pembicaraan lewat sms ini pun bertambah panjang dan ngalur ngidul. Tapi keduanya tidak keberatan kalau tagihan ponsel selalu membengkak)

Berbeda kalau sudah menikah. Berhubung karena sudah tinggal satu rumah, tidak perlu lah lagi menanyakan pertanyaan-pertanyaan ”perhatian (+) tapi ide (-)” seperti itu. Toh sudah bisa lihat langsung sehari-hari. Tagihan telepon pun tak perlu lagi membengkak, karena kalau ada yang perlu ditanyakan tinggal tunggu pasangan pulang kembali ke rumah. Tapi, unsur ”perhatian”nya jadi terkesan berkurang.

Sebenarnya asyik juga menuliskan semuanya disini, tapi kalau kepanjangan bisa jadi membosankan. Aku coba ambil satu contoh lagi saja ya. Tentang sudah jarangnya kesempatan untuk bisa makan berdua. Tidak perlu pakai acara ”candle light dinner”

segala, cukup hanya makan berdua saja, seperti waktu masih pacaran dulu. Tapi, sesudah menikah kebiasaan itu sepertinya sudah lumayan jarang, apalagi kalau sudah punya anak. Yang ada ya makan bertiga, dengan si pengganggu mungil yang selalu minta diladeni.

Kesimpulannya, walaupun menyebalkan, romantika berpasangan memang harus berubah. Suka atau tidak suka. Kita tidak mungkin mengharapkan indahnya masa pacaran akan tetap berlangsung dengan intensitas yang sama setelah menikah. Tapi kita tetap bisa menjaga agar apinya tidak padam. Hanya saja, mungkin bentuknya yang agak mengalami perubahan. Kalau waktu pacaran, apinya seperti api unggun yang cenderung liar. Setelah menikah, apinya mungkin ditempatkan dalam perapian yang lebih stabil dan nyaman. Tapi tetap saja, apinya masih ada kan? Yang penting tetap saling cinta, saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain.

PS: Ini bukan konsultasi resmi pernikahan ya. Hanya dilihat dari sudut pandang seorang istri. Hahaha... Sekarang, aku mau main Pet Society dulu nih. Nanti sore baru blogwalking.

Friday, September 11, 2009

Pakai Mentega Sajalah...

Aku dapat info yang menarik sekali dari salah seorang kawan blogger Filipina. Dia menuliskan sebuah informasi yang aku yakin sangat berharga untuk dibagikan kembali disini. Memang bukan hanya ditujukan buat ibu-ibu seperti aku saja, tapi ditujukan juga buat semua penggemar mentega dan margarine. Info ini akan membuat kita mempertimbangkan kembali kegunaan kedua jenis pelengkap makananan ini sehari-hari.

Margarine sebenarnya dibuat dengan tujuan untuk menggemukkan ayam kalkun. Tapi ternyata dalam proses itu, si kalkun malah mati dan bukannya tambah gemuk. Melihat kejadian ini, para penemu yang sudah kehilangan banyak uang untuk membuat barang tidak berguna itu kemudian memutar otak dan mencari cara agar produk ciptaan mereka itu bisa tetap menghasilkan uang. Produk itu berwarna putih dan tidak terlihat seperti makanan sedikit pun. Akhirnya, mereka menambahkan pewarna kuning dan menjual produk itu kembali sebagai pengganti mentega yang lebih mahal. Dan rasa baru yang mereka tambahkan itu ternyata disukai. Hebat kan?

Apa sebenarnya yang menjadi perbedaan antara mentega dan margarine?
Kalau persamaannya sudah cukup jelas. Kalau keduanya memiliki jumlah kalori yang sama besarnya. Tapi mentega mengandung lebih banyak lemak jenuh yang bisa mengakibatkan kegemukan, yaitu 8 gram. Dibandingkan margarine yang hanya memiliki 5 gram lemah jenuh saja.

Kemudian, berdasarkan penelitian yang dilakukan penelitian medis Harvard baru-baru ini, mengkonsumsi margarine meningkatkan resiko penyakit jantung bagi 53% wanita yang dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi mentega dalam jumlah yang sama. Bahkan mengkonsumsi mentega bisa membantu tubuh menyerap nutrisi dari makanan lain.

Mentega memiliki kandungan gizi yang banyak sementara margarine hanya memiliki sedikit kandungan nutrisi saja, itupun kandungan nutrisi tambahan alias buatan. Selain itu, yang pasti rasa mentega lebih enak daripada margarine. Dan juga bisa menambah lezat makanan lain yang diolah dengan mentega.

Dan yang terakhir adalah perbedaan usia. Mentega sudah dipergunakan manusia selama berabad-abad lamanya, sedangkan margarine baru dipergunakan kurang dari seratus tahun.

Ini adalah info yang lebih lengkap tentang margarine:
Kandungan trans fatty acids nya sangat tinggi sehingga berakibat buruk pada kolesterol dan pembuluh nadi.
Meningkatkan resiko penyakit jantung koroner tiga kali lebih banyak.
Meningkatkan kadar kolesterol jahat (LDL) dan menurunkan kadar kolesterol baik (HDL)
Meningkatkan resiko kanker sampai lima kali lipat.
Menurunkan kualitas ASI pada ibu menyusui.
Menurunkan tingkat ketahanan tubuh terhadap penyakit (imunitas)
Menurunkan kadar insulin dalam tubuh.
Yang terakhir dan yang paling menarik adalah: bahwa susunan kimiawi margarine hanya berbeda satu molekul dari susunan kimiawi PLASTIK!


Ada cara sederhana yang bisa membuktikan fakta ini.
Letakkan margarine di dalam garasi atau tempat-tempat yang tidak terkena cahaya lainnya. Dan biarkan selama beberapa hari.
Kemudian perhatikanlah kalau tidak ada lalat yang hinggap di atas margarine ini. Bahkan kumbang-kumbang kecil yang biasa bertebaran di atas buah-buahan pun tidak terlihat. Ini artinya, margarine itu tidak membusuk dan tidak mengeluarkan bau yang tidak enak. Ini membuktikan kalau tidak ada kandungan gizi di dalamnya, sehingga tidak ada mahluk apapun yang bisa tumbuh di atasnya, seperti halnya makanan yang lain.

Bahkan mahluk paling kecil pun tidak akan bisa hidup dan mengambil nutrisi apapun darinya. Kenapa? Karena komposisinya yang sudah sangat mirip dengan plastik! Mahluk hidup mana yang bisa hidup dari memakan plastik? Itu sama saja dengan melelehkan salah satu koleksi Tupperware-mu dan menyiramkannya ke atas roti atau menjadikannya sebagai pengganti minyak goreng untuk menumis.

Semua informasi ini bisa kita jadikan sebagai referensi untuk mempertimbangkan kembali penggunaan margarine dalam makanan kita.

Sekali lagi, aku menuliskan ini kembali dari artikel seorang blogger yang lain. Dia kebetulan tinggal di luar negeri dan hampir selalu bersentuhan dengan mentega atau margarine ini dalam makanannya. Agak berbeda dengan kita yang tinggal di Indonesia. Tapi sekarang, sudah banyak ibu-ibu yang mengurangi penggunaan minyak goreng dan menggantinya dengan mentega atau margarine.

Kalau dilihat dari informasi di atas, sepertinya aku lebih memilih menggunakan mentega saja daripada margarine. Biarpun harganya agak lebih mahal, tapi relatif lebih aman.

Dan si penulis artikel menyertakan sebuah ungkapan menarik di akhir tulisannya:
Chinese Proverb:
“When someone shares something of value with you and you benefit from it, you have a moral obligation to share it with others."

Jadi, aku pun membagikannya disini untuk kawan-kawan blogger lainnya. Dan kawan-kawan bisa menbagikannya lagi kepada yang lain. Semoga bermanfaat ya..

Tuesday, September 8, 2009

Pilihlah Damai!

Kali ini aku ingin sedikit membagikan pandanganku terhadap kekerasan yang terjadi antar pemeluk agama dan antar etnis di dunia ini. Yang pasti bukanlah pemikiran yang luar biasa, seperti halnya pemikiran kawan-kawan yang mungkin sudah sangat ahli dalam hal ini. Juga bukanlah sebuah wacana yang kubuat untuk memancing perdebatan dan perselisihan bagi kawan-kawan yang datang membaca tulisanku ini. Karena jauh di dasar hatiku, aku sadar bahwa segala bentuk diskusi ataupun perdebatan mengenai agama dan etnis, tidak akan memiliki hasil akhir yang memuaskan semua pihak. Dan aku tidak ingin kericuhan seperti itu ada di blog-ku yang kecil ini.

Ini hanya sekedar renungan sederhana dari seorang awam yang juga berasal dari etnis tertentu dan memiliki agama tertentu. Kalau untuk latar belakang etnis, mungkin kita tidak bisa memilih untuk menjadi etnis apa ya. Karena kita sudah terlahir dengan label itu. Suka atau tidak suka. Tentang agama, mungkin ada sedikit perbedaan. Meski umumnya kita sudah memiliki agama sewaktu kita dilahirkan. Tapi banyak juga orang yang memilih untuk meninggalkan agama kelahirannya dan memasuki agama baru yang dikenalnya setelah dewasa. Jadi, agama masih bisa masuk dalam kategori pilihan.

Tapi apa sebenarnya harapan dan tujuan orang menganut sebuah agama?
Ini pertanyaan sederhana ya. Dan menurutku jawabannya juga sederhana: Untuk mencari kedamaian. Atau ada kawan-kawan yang memiliki pandangan yang berbeda tentang ini? Tentang apa yang menjadi motivasimu menganut agama? Disini, aku mau menambahkan sedikit tentang alasanku tadi, yaitu untuk mencari kedamaian.

Sejauh yang bisa kulihat sekarang, harapan dan tujuan itu masih belum terpenuhi. Agama yang diharapkan bisa membawa ketenangan batin, malah dijadikan alasan untuk menumpahkan darah orang lain. Sama halnya dengan etnis. Keberadaan satu etnis tertentu, bisa memancing kemarahan etnis yang lainnya. Kemarahan ini biasanya sudah berlangsung turun temurun. Sehingga bahkan orang yang belum saling mengenal sekalipun bisa menyimpan kebencian dan dendam yang didalamnya terselip niat untuk saling membunuh. Bagaimana ini bisa terjadi?

Semua orang tahu kalau kita tidak bisa memilih jadi etnis apa kita dilahirkan.

Orang Yahudi juga mungkin menyesal dilahirkan jadi Yahudi, ketika NAZI membantai mereka dari bayi baru lahir sampai ke orang tua, hanya karena kebencian. Orang Negro mungkin menyesalinya warna kulitnya, ketika mereka dipaksa menjadi budak dan warga negara kelas dua hanya karena berkulit hitam. Atau warga Hutu di Afrika menyesali warna kulitnya yang sedikit lebih terang dari warna kulit saudaranya Tutsi yang lebih gelap. Karena saudaranya itu jadi membencinya dan membantai mereka seperti yang kutonton di film Hotel Rwanda.

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri dari kebencian pihak lain? Karena meskipun mencuci darahnya sepuluh kali, orang Yahudi tetaplah Yahudi. Meskipun melakukan operasi pengantian warna kulit seperti Michael Jackson, orang kulit hitam tetaplah orang kulit hitam. Etnis itu bukanlah sekedar penampilan fisik, tapi juga budaya dan pola pikir. Sehebat apapun penampilan fisik diubah, tapi di dalam sanubarinya dan di dalam pola pikirnya, dia tetaplah bagian dari etnisnya. Dan sangat sulit sekali untuk bisa mengubah hal yang satu ini.

Kisah yang sama juga dialami dengan alasan perbedaan agama. Warga Irlandia tidak bisa menikmati kedamaian beragama karena Protestan dan Katolik tidak bisa berjalan beriringan dengan damai.

Dalai Lama harus hidup di pengasingan untuk menyelamatkan nyawanya dari incaran warga China lainnya. India harus terbagi dua dan membenci satu sama lain karena ada penduduknya yang beragama Islam dan ada yang beragama Hindu. Lalu dimana kedamaiannya? Apa yang sebenarnya dicari dari agama yang mereka anut?

Lalu, apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri? Apakah orang harus berpindah agama, meskipun terpaksa, agar nyawanya tidak melayang? Atau paling tidak harus berbohong mengenai agamanya ketika ada yang menanyakannya? Kalau perpindahan itu dilakukan dengan sukarela, itu adalah Hak Azasi Manusia dari masing-masing individu. Tapi kalau ada pihak-pihak yang memaksakan perpindahan keyakinan itu, dengan tegas aku menyatakan pendapat disini bahwa itu sangatlah tidak adil!
Kalau ternyata agama membuat orang saling membenci dan saling membunuh, maka aku bisa memahami pemikiran dan alasan orang-orang yang memilih untuk menjadi atheis. Karena dengan menjadi atheis, dia berusaha membebaskan dirinya agar tidak menjadi musuh pihak manapun. Dan anehnya, kaum atheis ini cenderung mendapat tempat yang netral diantara kaum yang memiliki agama.

Aku sengaja tidak membahas tentang etnis dan agama yang ada di negara kita, Indonesia ini. Dan renungan diatas aku berikan sebagai gambaran dasar saja. Lalu kita bisa menempatkan negara kita sendiri beserta agama-agama dan etnis yang menyebar di dalamnya dalam rangka cerita itu. Apakah ada kemungkinan ”kebencian warisan nenek moyang” seperti kisah di atas akan bisa dialami oleh anak cucu di masa yang akan datang? Mudah-mudahan tidak.

Saturday, September 5, 2009

Cara Tepat Membantu Pengemis

Permasalahan umum yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia bisa dikatakan hampir sama. Kriminalitas, kebersihan dan gepeng (gelandangan dan pengemis). Khusus untuk yang terakhir ini, pemerintah sepertinya sudah kehabisan ide untuk menanganinya. Sampai-sampai ada daerah yang mengharamkam pengguna jalan memberi sumbangan kepada pengemis yang meminta-minta di pinggir jalan.

Medan juga punya permasalahan yang sama. Hampir di setiap persimpangan lampu merah, selalu ada pengemis dan pengamen jalanan. Kadang, aku sering kasihan melihat mereka.

Apalagi kalau ada anak-anak yang masih berumur 7-8 tahun, dengan pakaian kumal dan gitar kecil yang sudah hancur, bernyanyi seadanya di jendela mobil. Tapi rasa iba itu akan langsung hilang, begitu melihat dia bergabung dengan teman-temannya sesama pengamen, menghirup uap lem Goat di dalam sebuah plastik. Narkoba murahan. Kalau ternyata uang hasil ngamennya itu dipakai untuk fly, lebih baik tidak usah dikasih sedekah.

Kadang-kadang, ada juga pengemis ibu-ibu setengah baya yang sepertinya sedang menggendong bayinya dalam kain gendongan di dadanya, di tengah terik matahari. Sebenarnya, tujuan dia membawa anaknya itu juga perlu dipertanyakan kembali. Masak’ iya seorang ibu tega membawa anaknya yang masih bayi berjemur di tengah matahari siang.

Semiskin-miskinnya dia, pasti ada naluri untuk menjaga anaknya agar tidak sakit. Kalaupun harus mengemis, dia akan mencari tempat yang tidak terlalu ”menyiksa” anaknya. Jangan-jangan, anak itu dibawa hanya agar orang merasa kasihan dan memberi sedekah kepadanya. Dan ada yang lebih mengagetkan lagi. Ketika si ibu ini mendekat ke kaca mobil, maka kita akan bisa melihat kalau sebenarnya dia sedang menipu. Yang di gendongannya itu hanyalah buntalan-buntalan kain yang dibentuk-bentuknya sedemikian rupa. Sehingga terlihat seperti tubuh bayi yang sedang tertidur, dari kejauhan. Gila nggak?

Pengemis satu lagi adalah bapak-bapak yang juga berusia setengah baya. Yang ini, biasanya nongkrong di perempatan lampu merah pertama setelah keluar dari kompleks rumah kami. Badannya subur, penampilannya bersih dan wajahnya penuh senyum. Sama sekali tidak terlihat seperti orang yang sedang susah. Dari kejauhan dia sudah menyapa para pengemudi mobil dari tempat duduknya di tengah jalan. Sepertinya dia tidak bisa berjalan karena kakinya terlipat dan dikerubuni lalat. Tapi ternyata, ketika kami lewat dari sana sore hari menjelang magrib, dia dengan tenangnya jalan lenggang kangkung, tak kekurangan suatu apapun. Pakaian mengemisnya sudah terlipat di dalam bungkus plastik, dan dia berjalan pulang dengan pakaian bersih. Lho..lho..lho..

Untuk pengemis-pengemis yang seperti ini, memang layak terimbas perda seperti di Jakarta. Jangan dikasih sedekah. Mereka itu pengemis-pengemis malas yang memanfaatkan rasa iba orang lain. Sementara sebenarnya fisiknya masih kuat dan dia masih bisa mencari pekerjaan, tapi dia memilih untuk meminta-minta saja. Begitu juga anak-anak kecil yang mengemis agar bisa membeli ”lem Goat” untuk jadi narkoba. Atau ibu-ibu berbadan sehat yang menggendong buntalan kain kemana-mana, agar orang merasa kasihan dan memberi sedekah.

Hanya saja, rasa kasihan tetap akan muncul kalau melihat seorang bapak tua yang benar-benar lumpuh (karena kakinya memang buntung) tapi dengan semangat mendatangi mobil yang sedang berhenti di lampu merah, untuk meminta sedekah. Dia tidak duduk bermalas-malasan seperti pengemis yang pura-pura buntung. Tapi dia tetap berjalan dengan susah payah mendatangi mobil-mobil. Kalau yang seperti ini, kadang suka nggak tega. Dan akhirnya kami berikan lembaran uang yang tidak seberapa. Tapi dia sudah menyambutnya dengan gembira dan berulang-ulang mengatakan terimakasih. Kalau di Jakarta, mungkin kami sudah kena denda ya.

Mungkin sebaiknya kita memang menyalurkan bantuan untuk kawan-kawan kita yang kurang beruntung ini lewat lembaga resmi ya. Misalnya lewat badan zakat untuk yang muslim, atau yayasan milik gereja untuk kami yang kristen. Mudah-mudahan, lembaga-lembaga ini bisa menyalurkan sumbangan untuk orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. Yang pasti bukan untuk pengemis penipu, atau pengemis yang hobi nyabu..

Wednesday, September 2, 2009

Megahnya Pengantin Asia

Masih terbawa suasana pernikahan dan baju-baju pengantin dari blog filmku, iseng-iseng aku browsing sana-sini untuk mencari gambar-gambar pakaian pengantin tradisional di beberapa negara Asia. Dan hasilnya luar biasa menarik. Ternyata, meskipun telah habis-habisan digempur dengan busana pengantin ala barat yang berwarna putih dan penuh renda, busana pengantin tradisional tetap terlihat anggun. Untuk busana pengantin tradisional empat etnis suku Batak di Sumatera Utara, aku tulis di blog yang satu lagi. Ini ada beberapa gambar dan semuanya kuurutkan berdasarkan busana yang paling kusukai nih.

Ini dia busana pengantin yang paling menarik perhatianku, meskipun aku tidak yakin mau memakainya untuk pesta pernikahan. Warna-warna meriah sangat mendominasi di busana pengantin tradisional China ini ya. Sebenarnya, pakaian yang pria berwarna biru dan yang wanita berwarna merah. Tapi tetap ada perpaduan warna di masing-masing baju. Lihat betapa rumitnya hiasan kepada di rambut pengantin perempuan, mengingatkan rumitnya hiasan rambut pengantin perempuan dari tanah Minang ya. Tapi kalau selempang yang dibentuk seperti kuntum bunga di dada pengantin pria, ampun deh besarnya. Hehehe

Selanjutnya yang paling kusuka adalah busana pengantin tradisional India. Lihat motif-motif bunga yang menghiasi hampir seluruh permukaan kain, lengkap dengan bordiran di sepanjang tepiannya. Kesannya anggun dan agung. Aku kurang yakin sih, tapi ada yang namanya kain songket India dan kain ini cukup terkenal di kalangan penikmat mode. Mungkin saja yang ada di gambar ini adalah kain songket India itu. Kalau yang ini, aku mau dan pe-de saja memakainya. Cantik sekali.

Busana pengantin yang satu ini sebenarnya panjang sampai menyentuh tanah. Seperti ciri khas pakaian tradisional Korea lainnya, bentuknya seperti baju baby-doll karena menyempit tepat di bawah dada, kemudian melebar lagi. Yang paling unik adalah hiasan kepalanya. Ada dua helai kain, semacam pita, yang menjuntai di sisi kiri dan kanan kepala. Sementara dari belakang, pengantin terlihat seperti sedang mengenakan kerudung. Tak lupa, hiasan rambut di puncak kepala itu, kelihatan tradisional sekali ya. Sekilas pengantinnya jadi terlihat seperti burung merak. Aku mau memakai busana pengantin tradisional Korea ini, karena kelihatan sangat anggun dan jatuhnya pas di badan. Tapi untuk hiasan kepalanya, kayaknya dipikir-pikir dulu lah.

Dari semuanya, busana pengantin tradisional Jepang inilah yang menurutku paling rumit. Seperti umumnya kimono, pakaian tradisionalnya terdiri atas beberapa lapis kain, yang harus diikat dan dililit dengan kencang dan tepat di tubuh. Seperti pengantin ini, kimono bagian dalamnya terlihat berwarna putih, dan ditutup dengan kain seperti jubah yang berwarna merah dan penuh dengan lukisan bunga dan burung. Rambutnya disanggul khas rambut tradisional dengan hiasan (yang sepertinya) berlapis emas. Menurutku, busana pengantin yang ini cenderung terlihat megah dan agung. Berbanding terbalik dengan busana pengantin pria yang cenderung kalem dan agak ”biasa saja”. Aku kurang pe-de kalau harus memakai pakaian ini untuk pesta pernikahan.

Yang terakhir dan yang menurutku paling polos untuk kategori busana pengantin adalah dari Vietnam. Lihat betapa sederhananya model pakaiannya. Yang perempuan hanya menggunakan gaun merah berleher cheongsam dengan belahan tinggi di samping, mencapai pinggang. Sebagai pasangannya dia mengenakan rok lurus berwarna keemasan. Hiasan rambutnya berbentuk seperti topi, juga berwarna merah. Dan tidak ada perhiasan apapun. Yang pengantin pria cenderung lebih ”ramai’ karena pakaiannya yang berwarna biru punya motif bulat keperakan. Sama-sama berleher cheongsam dan sama-sama menggunakan hiasan kepala seperti topi. Tapi hiasan kepala pengantin wanita hampir mirip dengan topi untuk pemain golf cewek ya. Dan karena sederhananya, aku bahkan tidak ingin memakai busana pengantin yang satu ini untuk pesta pernikahanku. Terlalu sederhana. Tidak ada kesan agung, dan anggunnya. Yah, selera orang bisa berbeda-beda kan.

Tapi ada satu kesimpulan utama yang bisa kulihat dari kelima gambar yang kupilih secara acak ini. Bahwa mayoritas orang Asia memilih warna merah sebagai warna busana pengantin. Warna merah memang memberi kesan yang mewah dan menjadikan si pengantin pusat perhatian. Bandingkan dengan busana ala ball gown yang diadopsi dari budaya barat. Warna tradisional untuk gaun barat ini adalah putih atau putih gading, dengan alasan warna itu melambangkan kesucian. Tapi menurutku, ball gown milik Eropa, kalah anggun dengan busana pengantin India. Juga kalah menarik dengan busana pengantin China. Dan yang pasti, kalah megah dengan busana pengantin Jepang. Tapi kenapa, orang Asia masih berlomba-lomba meninggalkan busana pengantin tradisionalnya yang luar biasa dan mengejar-ngejar busana pengantin ala Eropa yang biasa-biasa saja? Tanya kenapa...
Shelfari: Book reviews on your book blog
Blog Widget by LinkWithin
 

~Serendipity~ | Simply Fabulous Blogger Templates | Mommy Mayonnaise | Female Stuff